Selasa, 10 Maret 2009

Handout : Sastra Melayu (Hikayat)

Sastra Melayu

Perkembangan sastra Indonesia merupakan perkembangan dari sastra Melayu ( daerah Riau ). Jadi dengan kata lain para pelopor sastra Indonesia lama pada umumnya berasal dari daerah tersebut dan dari mereka jugalah cikal bakal Sastra Indonesia Modern.
Sastra Melayu atau Kesusastraan Melayu adalah sastra yang hidup dan berkembang di kawasan Melayu. Sastra Melayu mengalami perkembangan dan penciptaan yang saling mempengaruhi antara satu periode dengan periode yang lain. Situasi masyarakat pada zaman sebelum Hindu, zaman Hindu, zaman peralihan dari Hindu ke Islam, dan zaman Islam, berpengaruh kuat pada hasil-hasil karya sastra Melayu. Terjadi hubungan yang erat antara tahap perkembangan, kehadiran genre, dan faktor lain di luar karya sastra.
Sastra Melayu berkembang pesat pada zaman Islam dan sesudahnya, karena tema-tema yang diangkat seputar kehidupan masyarakat Melayu, meskipun beberapa ada pengaruh asing. Sebelum zaman Islam, konteks penceritaannya lebih berorientasi ke wilayah di luar Melayu, yaitu India dengan latar belakang kebudayaan Hindu.
Kehidupan dan perkembangan sastra Melayu dari dulu hingga saat ini masih berlangsung terus. Untuk memudahkan uraian yang berkaitan dengan sastra Melayu maka diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu Sastra Melayu Klasik dan Melayu Modern. Secara garis besar, Sastra Melayu Klasik dimulai dari adanya hasil karya sastra lisan maupun tulis yang sangat terbatas; penulisannya kebanyakan terpusat di kerajaan, vihara, dan pondok-pondok oleh orang-orang tertentu dan dibaca oleh kalangan tertentu. Masyarakat awam hanya menikmati dalam wujud penceritaan atau pertunjukan secara lisan.

Melayu Klasik
Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu.
Kesusastraan Melayu sebelum Islam tidak ada nuansa Islam sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Isi dan bentuk sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk yang terakhir ini (mantra), sering dikenal dengan jampi serapah, sembur, dan seru. Sedangkan bentuk prosa, tampak tertuang dalam wujud cerita rakyat yang berisi cerita-cerita sederhana dan berwujud memorat (legenda alam gaib yang merupakan pengetahuan pribadi seseorang), fantasi yang berhubungan dengan makhluk-makhluk halus, hantu dan jembalang.
Perkembangan kesusastraan Melayu sesudah kedatangan Islam ditandai dengan penggunaan Huruf Arab yang kemudian disebut Tulisan Jawi atau Huruf Jawi, yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah Arab Melayu. Hal ini dikarenakan masyarakat Melayu merasa bahwa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya. Huruf Jawi ini diperkenalkan oleh para pendakwah Islam untuk membaca al-Qur‘an dan menelaah berbagai jenis kitab dari berbagai disiplin ilmu. Perkembangan penulisan ini sangat pesat karena Islam memperbolehkan semua orang untuk menulis dalam berbagai bidang.

Melayu Modern
Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Modern adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu dan di luar daerah Melayu mulai sekitar tahun 1920-an hingga sekarang ini. Pembatasan tahun ini karena setelah tahun 1920-an dunia sastra mengalami perubahan dari sebelumnya. Pada masa sebelum tahun 1920-an karya sastra hanya dibuat oleh orang-orang tertentu, biasanya dari kalangan istana, vihara, atau pondok-pondok pesantren, sedangkan masyarakat kebanyakan hanya bisa menikmati dalam bentuk penceritaan atau pertunjukannya.
Pada tahun 1920-an masyarakat luas mulai bisa menikmati karya sastra yang diterbitkan secara massal. Pihak Belanda melakukan aktivitas pengumpulan berbagai cerita rakyat yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Hasil dari terjemahan tersebut kemudian diproduksi secara massal oleh percetakan Belanda, dalam hal ini Balai Pustaka (sekarang menjadi percetakan negara), sehingga dari sinilah masyarakat luas mulai bisa menikmati karya sastra secara leluasa.
Dampak dari aktivitas tersebut adalah banyaknya pengarang pribumi yang bermunculan dan mulai menulis karya sastra secara individual. Para pengarang di masa ini sering disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka. Hasil-hasil karya sastra yang dihasilkan mulai bervariasi, seperti roman, novel, cerita pendek, dan puisi. Jarang ditemui bentuk-bentuk karya sastra seperti syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Dalam menerbitkan karya-karyanya, penyair pribumi menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa, bahasa Sunda, namun ada juga beberapa sastrawan yang menggunakan bahasa Bali, Batak, dan Madura.

Hikayat
Hikayat berasal dari bahasa Arab hikayah yang berarti kisah, cerita, atau dongeng. Pengertian mengenai hikayat ini bisa ditelusuri dalam tradisi sastra Arab dan Melayu lama. Dalam sastra Melayu lama, hikayat diartikan sebagai cerita rekaan berbentuk prosa panjang berbahasa Melayu, yang menceritakan tentang
kehebatan dan kepahlawanan orang ternama dengan segala kesaktian, keanehan dan karomah yang mereka miliki. Orang ternama tersebut biasanya raja, putera-puteri raja, orang-orang suci dan sebagainya. Hikayat termasuk genre yang cukup populer di masyarakat Melayu dengan jumlah cerita yang cukup banyak. Kemunculan genre ini merupakan kelanjutan dari ceritera pelipur lara yang berkembang dalam tradisi lisan di masyarakat, kemudian diperkaya dan diperindah dengan menambah unsur-unsur asing,
terutama unsur Hindu dan Islam. Dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari, hikayat ini berfungsi sebagai media didaktik (pendidikan) dan hiburan.
Berdasarkan fase historis, hikayat dalam sastra Melayu lama bisa dibagi tiga yaitu:

(1) Hikayat berunsur Hindu
Yang berunsur Hindu berinduk pada dua hikayat utama: Hikayat Sri Rama dan Mahabbhrata.
Dari dua kisah ini, kemudian berkembang kisah atau hikayat lain seperti Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Sri Rama.

Unsur Hindu
Hikayat yang berunsur Hindu merupakan cerita-cerita kepahlawanan yang lahir dari epik-epik India yaitu Ramayana dan Mahabharata. Ramayana berasal dari India, yang aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta. Karya ini dicipta oleh Valmiki untuk menyindir perlakuan kaum Arya terhadap orang-orang kebanyakan di bagian India selatan.
Agak sulit untuk melacak kapan masuknya cerita-cerita ini ke tanah Sumatra. Ada kemungkinan cerita-cerita ini masuk bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Sumatra. Hal ini terbukti dalam Sirat al-Mustaqim yang ditulis oleh Nuruddin al-Raniri pada tahun 1634 Masehi, sementara dalam naskah Hikayat Seri Rama milik Archbishop Laud yang tersimpan di perpustakaan Boldleian tertera angka 1633 Masehi.
Beberapa hikayat Melayu yang mengandung unsur Hindu antara lain:

(2) Hikayat berunsur Hindu-Islam
Hikayat Hikayat yang mengandung unsur Hindu dan Islam merupakan hikayat yang berasal dari tradisi
Hindu, kemudian diubah dengan memasukkan unsur-unsur Islam. Contohnya adalah
Hikayat Si Miskin dan Hikayat Inderaputera.

Unsur Hindu dan Islam
Jenis hikayat yang berunsur Hindu dan Islam dapat dikenali dari isinya, yaitu adanya penggunaan istilah-istilah Hindu dan Islam dalam hikayat tersebut. Ciri yang lain adalah bahwa lahirnya hikayat ini pada jaman yang oleh para peneliti sering disebut sebagai jaman peralihan Hindu ke Islam, yaitu sekitar abad ke-14 hingga abad ke-16 M.
Perpaduan unsur Hindu dan Islam tersebut karena unsur-unsur Hindu telah populer di kalangan masyarakat Melayu. Di satu sisi, masyarakat Melayu tidak ingin meninggalkan unsur Hindu dalam hikayat ini, namun di sisi lain mereka memasukkan unsur-unsur baru dari Islam. Masuknya pengaruh Islam bermula dari adanya tulisan yang bercorak tulisan Arab yang kemudian oleh masyarakat Melayu disebut tulisan Jawi. Dari sinilah para ahli mengkategorikan sebagai hikayat yang mengandung kedua unsur, yaitu Hindu dan Islam.
Unsur-unsur Hindu dalam penceritaan hikayat pada masa ini masih kental, seperti adanya pengembaraan, percintaan, penyelamatan kekasih, dewa-dewi, kesaktian, dan lain-lain. Model penceritaannya sebagaimana lazimnya dalam hikayat Hindu, yaitu dimulai dari pengembaraan yang menggambarkan asal-usul tokoh utama dengan segala perwatakannya, latar belakang keluarga, dan tentang sebab-sebab terjadinya pengembaraan. Kemudian dikisahkan pengembaraan tokoh utama yang mengalami kendala-kendala, misalnya gangguan, rintangan, kesusahan, dan lain-lain yang kemudian terjadi perkelahian untuk menunjukkan kesaktian atau ketangguhan baik dengan senjata ataupun tanpa senjata dalam memperebutkan kekasih atau hak-hak tokoh utama. Selanjutnya, di akhir cerita berisi tentang kejayaan tokoh utama yang hidup bersama keluarganya dan juga kisah kalahnya tokoh antagonis yang berwatak jahat dengan kehidupan yang sengsara. Penceritaan ini diakhiri dengan happy ending.
Sementara unsur-unsur Islam yang masuk dalam hikayat jenis ini masih terbatas pada penggantian nama-nama tokoh dan perwatakannya, serta pemakaian istilah-istilah yang lazim dalam Islam. Secara garis besar, unsur-unsur dari keduanya dapat dilihat di bawah ini.

(3) Hikayat berunsur Islam.
Sedangkan hikayat yang hanya berunsur Islam adalah hikayat yang berasal dari tradisi sastra Arab-Persia. Contohnya adalah Hikayat 1001 Malam, Hikayat Qamar al-Zaman dll.

Unsur Islam
Hikayat-hikayat yang berunsur Islam mendapat pengaruh dari Arab, Persia, India, Turki, Urdu, dan lain-lain. Kebanyakan hikayat-hikayat ini pada awalnya berisi dakwah kepada masyarakat atau ajakan kepada umat Islam supaya memperkuat keimanannya. Sebagai contoh karya yang berupa hikayat ini adalah Syahnameh yang dikarang oleh Firdausi pada tahun 1020. Selanjutnya pada abad ke dua belas beredar Laila dan Majnun yang diadaptasi oleh pengarang Persia yaitu Nizami dari judul dalam sastra Arab Qays wa Layla atau Majnun Layla. Ada juga Hikayat Seribu Satu Malam yang diterjemahkan dari Alf Laylah wa Laylah.
Pada saat itu, kata-kata dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya banyak digunakan dalam sastra Melayu dengan tulisan Jawi-nya. Dalam hal ini bahasa Melayu mempunyai peran dalam penyebaran agama Islam dan pengembangan kesusastraan di Nusantara. Latar penceritaan dan tema yang ditampilkan banyak berkaitan dengan ajaran Islam, peristiwa-peristiwa pada jaman Nabi Muhammad SAW, serta tokoh-tokoh Islam lainnya. Sebagai contoh adalah Hikayat Darmata’siah, Hikayat Qamar al-Zaman, Hikayat Nakhoda Muda atau Hikayat Siti Sara, Hikayat Saleh Salehah, Hikayat Nodar Syah, Hikayat Hassan Damsyik, Hikayat Nurhatiyah Puteri Masri.
Hikayat-hikayat tersebut mengandung tema didaktik atau pengajaran dan keteladanan yang menekankan ajaran moral di samping terdapat pula tema hiburan. Beberapa hikayat mengandung nilai pendidikan khusus kepada kaum wanita, seperti Hikayat Damata’siah, Hikayat Puteri Salamah, Hikayat Fatimah, dan Hikayat Nurbatiyah Puteri Masri atau Hikayat Puteri yang Budiman. Hikayat-hikayat ini bertujuan menanamkan ajaran Islam sehingga membentuk pribadi yang mulia bagi kaum wanita. Tokoh-tokoh wanita dalam hikayat ini digambarkan mengalami banyak ujian yang sangat berat selama hidupnya, namun mereka dapat mengatasinya dengan kecerdasannya sebagai seorang wanita.
Ciri dari karya-karya pada masa ini sudah tidak ada unsur Hindu sama sekali. Semua kejadian selalu dihubungkan dengan kehendak Allah atau makhluk-makhluk ciptaan Allah. Watak-watak yang disampaikan adalah watak kebanyakan manusia sebagai ciptaan Allah dan semua mempunyai hak yang sama di hadapan Allah, baik itu golongan istana maupun rakyat jelata. Contoh dan teladan, dosa dan pahala yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat akan mendapatkan balasan yang setimpal. Beberapa pengarang menuliskan bahwa dengan membaca hikayat-hikayat yang berunsur Islam maka para pembaca akan terlepas dari siksa dalam kubur dan terbebas dari dosa.
Hikayat Melayu yang mengandung unsur Islam antara lain:
1. Hikayat Seribu Satu Malam.
2. Hikayat Nurhatiyah Puteri Masri.
Berdasarkan isi, hikayat dapat digolongkan ke dalam tiga jenis yaitu:
(1) Jenis rekaan, contohnya Hikayat Malim Dewa;
(2) Jenis sejarah, contohnya Hikayat Hang Tuah, Hikayat Pattani dan Hikayat Raja-raja Pasai;
(3) Jenis biografi, contohnya Hikayat Abdullah dan Hikayat Sultan Ibrahim bin Adam.

Senin, 09 Maret 2009

Cerpen : Unwanted Pregnancy

Unwanted Pregnancy
Oleh : Ariani Selviana

Surat hasil pemeriksaan dari laboratorium masih berselimut envelop. Rasa gundah menyergap manakala memandangi wajah petugas yang tersenyum sumringah. Jantungku berdegup kencang menduga-duga makna di balik senyuman itu.
“ Anak keberapa bu ?”
Kutercekat , tangan dan bibirku mendingin . Kepala terasa berputar, pandangan mengabur dan tubuhku limbung. Di batas nadir , tubuhku terasa dibopong oleh beberapa orang ke sebuah ruangan. Setelah itu dunia menjadi sunyi senyap dan gelap.
“ Bu…..Bu…sudah sadar ya ?” Lengan kiriku diguncang. Kepadaku diasongkan segelas air putih. Beberapa teguk segera membasahi tenggorokan.
“ Boleh kami tahu nama suami dan telepon yang bisa dihubungi? “
“ Tidak perlu, Suster. Saya sudah sehat dan bisa pulang sendiri.”
Berhasil kuyakinkan suster itu mempersilahkanku untuk istirahat sejenak . Setelah cukup kuat aku bergegas pergi.
Mungkin pembaca menduga kalau kehamilanku adalah hasil dari hubungan terlarang. Dugaan itu salah. Aku wanita bersuami beranak tiga. Jadi ini kali adalah kehamilan keempatku.
Aku wanita yang cukup kuat, tidak pernah mual, pusing apalagi muntah-muntah saat masa kehamilan . Yang terjadi padaku di poliklinik itu karena kehamilan ini tak terduga.
Pikiranku dikecamuk oleh rasa malu, kuatir dan marah . Bagaimana tidak? Anak pertamaku Lita sudah lulus SMA dan sudah bekerja sebagai seorang kasir di toko kelontong, Anak keduaku Sonny hanya sempat menikmati bangku SMA satu tahun saja . Dia terseret pergaulan dengan teman-temannya. Berhari-hari dia tidak pulang. Kadang kalaupun pulang dia hanya tidur sepanjang hari. Bila ditegur dia marah-marah dan akhirnya pergi dari rumah lagi. Aku hanya mendengar kabar bahwa dia sering kelihatan mengamen di Kopaja atau PPD. Baron , anak ketiga duduk di kelas 6 SD. Perawakannya kecil dan pendiam. Senyum jarang menghiasi wajahnya. Tanpa bantuan seorang psikolog pun aku bisa mengindikasikan apa yang terjadi padanya. Anak inilah yang sering menjadi saksi perseteruanku dengan bapaknya, Andi .
Aku benar-benar tidak tahan lagi menghadapi , Andi. Bahtera rumah tangga yang telah aku arungi bersamanya telah mencapai usia 18 tahun . Sikap pemalas dan pemimpinya belum juga berubah. Saat di awal pernikahan kami, aku merasa optimis bahwa seiring dengan hadirnya anak-anak pastilah naluri dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga akan muncul. Ternyata tidak! Aku terlalu berspekulasi untuk hal ini.
Sejak berpacaran, Andi memang sudah menunjukkan ‘masa depannya’. Teman-teman menyayangkan hubunganku dengannya. Aku tetap bersikeras menjalin cinta dengannya .Selain cintaku padanya, aku percaya bahwa manusia bisa berubah manakala didampingi orang yang terus memberi kesempatan dan memotivasinya. Dengan begitu optimis , aku merasa bahwa akulah orang yang bisa melakukannya.
Andi selalu membuatku tersanjung dengan caranya menunjukkan rasa cinta . Masa-masa sekolah yang kulalui bersamanya terasa indah. Setelah kami lulus kuliah, perjalinan cinta itu terus berlanjut. Sementara aku sudah bekerja, Andi masih menyelesaikan kuliahnya yang sempat tertunda. Sebagai seorang kekasih aku terus memotivasinya dan akhirnya dia berhasil menamatkan strata satu.
Melihat kedekatan kami, Orang tuaku meminta untuk meresmikan hubungan kami ke jenjang pernikahan. Aku dan Andi menikah dengan biaya pesta sepenuhnya ditanggung oleh orang tuaku.
Andi pandai memanjakan istri. Ada saja caranya membuat aku selalu merindukan saat-saat bersama. Enam bulan kemudian aku hamil anak pertama. Saat kehamilanku memasuki bulan ketujuh , Andi berhenti bekerja. Tidak jelas alasannya namun dia mengatakan bahwa temannya mengajak berbisnis dan dia ingin lebih berkonsetrasi. Aku menyetujuinya.
Hingga anak kami lahir. Yang kedua dan ketiga , Andi tidak pernah menjadi pegawai lagi. Dia hanya menjadi broker ‘ini dan ‘itu’. Dari sinilah sumber semua malapetaka itu muncul.
Aku mulai meragukan dan menyesali keputusanku memilihnya. Tidak ada hal yang membanggakan darinya selain kepiawaiannya menyanjungku. Kecerdasasnnya terbatas, kemalasannya luar biasa dan kreativitasnya nihil. Aku menyesali keputusanku. Aku tidak percaya bahwa cinta tak bisa lekang oleh waktu.
Ketidakmampuan Andi menjadi tiang keluarga apalagi menjadi teladan dan imam benar-benar menghempaskan harga diriku. Aku tidak percaya diri bila bertemu dengan kerabat dan teman-teman semasa sekolah dulu. Tak ada hal yang bisa kubanggakan. Secara materi dan prestasi aku sangat terpuruk .
Kekecewaanku padanya terus menebal setiap hari. Sikapnya bagaikan virus kanker yang terus menggerogoti stamina cintaku. Untuk menyadarkannnya ,kata-kata ironis sampai kata-kata sarkasme kualamatkan. Tapi tak berkhasiat. Jauh di lubuk hatiku , aku pun menyadari bahwa Andi pun tidak ingin kondisi seperti ini tapi toleransiku benar-benar sudah terkikis . Aku begitu murka melihatnya tak berkutik ketika Sonny harus berhenti sekolah karena uang SPP yang menunggak satu semester. Yang paling menyakitkan manakala dia menghilang berbulan-bulan saat aku melahirkan Baron. Alasannya, berikhtiar mencari uang untuk menebus kami dari rumah bersalin . Toh ketika dia kembali tetap dengan tangan kosong. Orang tuaku menebus kami dari rumah sakit namun aku harus menutup telinga karena mereka terus mengumpati Andi. .
Tak ada hari-hari yang kami lalui tanpa adu mulut. Anakku , Lita memilih tinggal di tempat kos dan Sonny lebih betah tinggal bersama teman-temannya entah dimana. Belum lagi masalah selesai kini muncul masalah baru. Aku hamil anak keempat.
Rasa malu dan kesal serta marah menyergapku. Mau dimana kusimpan mukaku ini?
Aku tak kuasa menanggung semua beban ini.
Keesokan harinya . Tetanggaku , Mimin memberikan sebuah alamat klinik keluarga. Mimim memang sering menjadi ‘tong sampahku’ . Letak rumah kami berhadapan. Jadi , aku sering menyeberang ke rumahnya untuk ‘ curhat’ usai perang dengan Andi. Bahkan untuk masalah apapun aku sering berkeluh kesah padanya. Termasuk ‘unwanted pregnancy’ ini.
“ Elu coba deh…kagak mahal kok! Boleh dicicil , tinggal ngomong aja.”
Mimin adalah vokalis orkes melayu yang sering diundang ke perhelatan-perhelatan kampung.
Penampilannya menarik walau sedikit menor. Aksinya goyangnya memikat para lelaki hidung belang sehingga menyeretnya menjadi pemuas nafsu mereka. Para tetangga sering mencibir kepadanya. Namun demikian aku tak enggan berteman dengannya.
“ Elu kagak malu temenan ama gue ?”
Aku menggeleng, “ Mengapa harus malu ?”
Mimin memang salah jalan tetapi manusia tidak berhak menghakiminya.
Sesekali Mimin tergelincir dalam kasus aborsi akibat melayani para penggilanya sehingga wajarlah dia menjadi pelanggan klinik keluarga itu.
“ Lokasinya dimana ?”
“ Gue nater deh. Kapan ‘lu mau?”
Kami melakukan kesepakatan.
Mengenai kehamilan ini tak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Mimin dan petugas poliklinik tempat kupingsan tempo hari. . Jadi tak satupun yang akan tahu aku melakukan aborsi. Niatku sudah bulat untuk menggagalkan kehamilan ini.

Di Klinik Keluarga
Sebuah rumah tinggal tanpa papan nama klinik. Ruang tamu diset sebagai ruang tunggu pasien.
“ Ini klinik atau rumah ?” Bisikku pada Mimin.
Belum sempat dia menjawab , seorang wanita gemuk setengah baya menghampiri Mimin. Mereka nampak akrab. Wanita itu mengelus-elus perut Mimin. Tapi kemudian , dia membisikkan sesuatu sambil matanya terus melirik padaku. Pastilah , wanita gemuk itu mengira Mimin akan melakukan aborsi lagi tapi kemudian dia menyampaikan bahwa aklulah yang akan melakukannya.
Tak lama kemudian muncul seorang wanita muda dipapah oleh dua orang. Satu lelaki muda dan satunya lagi perawat. Wajah wanita itu pucat pasi dan sangat lemah. Perawat itu membaringkan di sebuah kursi panjang. Dia memerintahkan sesuatu yang kemudian disambut anggukan kepala sang pemuda.
“ Sama kaya elu tuh .” Suara Mimim mengagetkanku.
“ Bedanya , mereka belum kawin. Biasalah mahasiswa kebelet.”
Hatiku miris sekali. Mereka berdua masih tampak muda sekali mungkin masih mahasiswa tingkat dua. Ya Tuhan! Aku jadi teringat Lita anakku.
Gadis itu menangis gemetar namun pemuda disampingnya hanya diam menunduk.
“ Suster nanya, elu siap gak hari ini ?”
Tiba-tiba rasa ragu menyergapku. Betapa nistanya aku melimpahkan kekesalan dan kemarahan kepada janin tak berdosa yang kini bersemayam di rahimku.
“ Mimin…aku gak siap kalau hari ini. Nanti deh aku datang sendiri ke sini. “
“ Ya udah, yang penting orang sini udah tahu elu.”
Kemudian kami berdua meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Sesekali Mimin bertanya dan kujawab tak berselera. Hatiku begitu berkecamuk , sebagai seorang yang taat aku telah menolak kehendak Tuhan atas hidupku. Kehidupan dan kematian adalah otoritas sang Pencipta tetapi kini aku mencoba merampasnya. Kini Tuhan menitipkan kembali amanat itu dalam rahimku tentu karena ada sebuah rencana atasnya. Aku mengelus lembut perutku seraya berdoa dalam hati meminta maaf. Selalu ada mukjizat untuk orang yang percaya. Aku akan terus berharap itu terjadi.
Januari 2009

Cerpen: Sebuah Keputusan

Sebuah Keputusan
Oleh : Ariani Selviana

Pohon besar di tengah kampus masih berdiri kokoh. Kerindangannya selalu membuatku betah berdiam lama di bawahnya . Dipan panjang terbuat dari besi tempa masih terbujur di samping pangkal pohon yang kokoh itu , warna catnya hitam penuh karat dan terkelupas di sana-sini .
Perlahan kuayun langkah menuju pohon kenangan itu. Meski ragu kududuki juga . Lima tahun yang lalu, tempat ini jadi saksi bisu kemesraanku dengan ‘ Pram’ .
Kami berdua sepakat meluangkan waktu makan siang bersama di bawah pohon beringin itu. Terkadang aku yang harus menunggu, beberapa menit kemudian Pram datang tergopoh-gopoh . Dari rutinitas pertemuan kami , Pramudya yang lebih sering menunggu karena ruang kuliah anak teknik lebih dekat daripada ruang fakultas ekonomi tempatku menggali ilmu. Sebenarnya ada ‘pojokan ‘ yang sama-sama dekat dari ‘markas kami ‘ namun pohon rindang itu tetap jadi pilihan. Pohon itu seolah hidup dan mengamati tingkah kami. Jadi sekalipun harus menunggu , kami tidak merasa sepi.
Beberapa pasang mata penasaran memandangiku. Kehadiranku di tengah kampus mereka menjadi tanda tanya . Di tengah seliweran anak-anak remaja yang segar-bugar , lincah dan berbusana dengan model up to date lalu hadir wanita yang sebaya dengan dosen mereka. Tapi aku tak memedulikannya, toh satpam mengizinkanku karena dia memang masih mengenaliku.
Kurogohkan tangan ke dalam tas coklat ‘Braun Buffel-ku’ . Sebuah buku agenda warna biru tua tebal kuraih. Di sampul bagian dalamnya tergores “ Pram Cinta Rani “ dengan tinta warna biru.
Kubaca helai demi helai kisah yang kami lalui sepanjang lima tahun menempuh pendidikan di kampus tercinta ini. Aku ingin menguji diri, menata kembali emosiku dan menghidupkan rasa cinta terhadap Pram. Setidaknya saat kuambil sebuah keputusan, kuyakini bahwa itu bukan emosi sesaat yang akan kusesali.
“ Pram…kalau saja kamu baca bagian ini ." bisikku lirih.

“ Rani bagiku kau adalah kitab inspirasiku. Hidupku menjadi jelas bersamamu. Jangan pernah beringsut dari hidupku ya. Kalau tidak aku akan hilang.. mati . “
“ Belum lama….belum lama.. Pram” Aku menghapus pipiku yang menghangat.
Pada beberapa halaman berikutnya .
“ Akhirnya kami menikah….TERIMA KASIH TUHAN!!”
Bagian ini pram menghiasinya dengan gambar hati berwarna-warni. Saat kukomentari dia mengatakan,
“ Gambar ini lambang suka citaku. “
Ketika kami memutuskan menikah, pohon ini kembali menjadi saksi bisu. Semacam ada chemistry antara kami dan pohon itu sehingga keputusan penting seperti menikah pun dilakukan di sana.
Satu lagi peristiwa saat aku bingung menentukan satu pilihan dari dua perusahaan yang menerimaku. Setelah berkonsultasi dengan orang tua dan Pram, akhirnya aku lari ke pohon itu untuk berdoa memohon petunjuk. Hatiku mantap dan memilih perusahaan Advertising. Walaupun banyak orang yang menyesalkan karena umur perusahaan periklanan itu masih seumur jagung tetapi aku melihat peluang lain. Ekspetasiku terbukti,dalam kurun waktu 2 tahun karirku meningkat. CEO memercayakan tanggung jawab yang lebih besar karena prestasiku sebagai AE sangat menguntungkan perusahaan. Kalau dari awal perusahaan besar yang aku pilih mungkin peluangku untuk unjuk gigi sangat kecil karena ketatnya persaingan.
Bila saat ini aku kembali bersimpuh , itu karena sebuah keputusan yang juga harus aku ambil bahkan teramat berat karena juga mempertaruhkan kebahagiaan anak semata wayangku, Ivana.
Alasannya karena perubahan prilaku Pram setahun belakangan ini . Dia tidak lagi seperti yang aku kenal dulu. Bukan lagi orang yang penyabar, pendengar yang baik dan penuh perhatian dan berjiwa . Entah siapa yang menyulapnya? Aku tak mau mencari kambing hitam.
Perubahan sikapnya dimulai ketika dia menjabat satu posisi penting di perusahaan sekuritas. Alasan klise yang sering jadi tamengnya adalah rapat dengan klien. Rapat yang berlarut-larut hingga dini hari. Bagiku ini bukan sebuah kelumrahan. Apalagi rapat diadakan di café-café atau pub-pub yang jelas bukan tempat untuk kepentingan bisnis.
“ Bisnis bener itu bukan jam 2 pagi, Pram “
“ Jadi kamu pikir ..aku bukan orang bener? “ Hardiknya .
Pram berapologi bahwa dia banting tulang untuk kemaslahatan keluarga:mencukupi kebutuhanku dan Ivana; untuk investasi dan bla…bla…bla….
Berpuluh-puluh kali alasan itu selalu dipakai dan akhirnya membuatku lelah. Puncaknya ketika kucoba menegurnya lagi dan dia meresponi,
“ Aku Cape Rani…kamu terlalu posesif. Mindset kita semakin berbeda. “ Dengan gaya bigbos , Pram menunjuk-nunjuk kepalanya lalu kepalaku.
“Kamu harus berjuang untuk bisa mengerti pola pikirku jangan terus berkutat dengan laptop-mu. Belajarlah bersyukur karena jerih payahku selama ini kita bisa hidup mapan . Apa yang kamu mau, kusediakan..” ceracau Pram semakin membungkamku.
Kamu benar-benar berubah Pram.
Pram benar-benar telah menyinggung perasaanku. Keputusanku berhenti bekerja dan mengurus Ivana juga atas permintaannya. Tidak kusangka bila akhirnya seperti ini. Bukan keputusan merawat Ivana yang kusesali tapi caranya memandangku membuat jarak yang semakin jelas di antara kami.
Aku memang belum berusaha keras untuk membuat Pram sadar dan berubah . Suatu hal yang akan sia-sia pikirku. Pram sangat nyaman dengan jati dirinya kini. Justru aku yang dianggapnya telah berubah.
Saat kuberkeluh-kesah kepada sahabat-sahabatku,
Kayanya Kamu harus kerja deh . “ Dia memberi alasan bahwa kini aku jadi sensitif.
“ Kalau kamu kerja lagi, pergaulanmu akan luas . Jadi kamu gak curigaan kaya gitu!”
“ Kalau aku jadi kamu akan kumanfaatkan suami tajir seperti Pram “
“ Kamu gak tahu bersyukur…”
Komentar-komentar seperti itu yang sering terdengar .
Yang lebih pedas lagi adalah komentar yang satu ini,
“ Perhatian yang kamu minta? Itu klise . Hari gini Perhatian sudah gak laku.”
Aku tidak terlalu menggubris komentar-komentar itu . Bukan karena itu tidak berpihak kepadaku tetapi karena melenceng dari topik sesungguhnya.
Aku semakin mencoba menjaga jarak dengan Pram. Jam berapa pun dia pulang aku tak pedulikan lagi. Bahkan untuk menghindar darinya, aku memilih menemani Ivana tidur . Seminggu, sebulan , dua bulan berlalu , suamiku tidak menyadarinya. Begitu tersesatkah dia di rimba kerja sehingga hal itu tidak mengusiknya. Saat makan pagi pun dia tidak mencoba bertanya. Pram semakin tenggelam . Aku kehilangan jiwanya.
Bukan karena kecemburuan yang menjadi pangkal semua ini. Itu terlalu naïf .
Sesungguhnya aku melihat keserakahan dan kepongahan dalam diri Pram. Baginya menggenggam dunia sangatlah mudah . Aku melihat sosok yang berbeda. Pramudaya dikelilingi aura negatif.
Upaya terakhirku untuk menyadarkan Pram adalah dengan menulis secarik kertas yang aku simpan di atas meja kerjanya. Tiga hari sesudahnya , tidak ada reaksi darinya. Itulah yang akhirnya mendorongku ke tempat ini. Itu sebuah pertanda bahwa semua kegundahan ini harus diakhiri.
Kututup buku kenangan itu dan kuselipkan doa. Aku minta kekuatan untuk sebuah keputusan besar. Mataku terpejam tetapi aku merasakan kehadiran seseorang di samping kiriku. Aku tetap tepekur sekalipun konsenterasiku terganggu. Aroma tubuhnya sangat aku kenal tetapi doa harus kuselesaikan.
Buku dalam pangkuanku diraihnya. Pramudya!
Kubuka mata, dia sudah bersimpuh di hadapanku dan menangis. Tangannya menyelimuti tanganku. Tanpa kata-kata . Hanya air mata dan sesekali isak tangis merembesi buku kenangan kami berdua.
Aku tidak tahan melihatnya.
“Rani……….” Seketika dia memelukku erat.
“ Kamu tetap buku inspirasiku. Tanpamu aku akan mati. “ Pram tercekat.
“ Bagaimana kamu mengira aku di sini ? “
“ Tempat ini milik kita Rani. Aku tahu ,kamu pasti kesini. “
Dia menunjukan sepucuk surat.
“ Apa ini ?” Seraya kubuka surat itu. Pramudya mendapat beasiswa belajar di Kanada.
“ Kita bisa pergi semua. Aku , Kau dan Ivana. 5 Tahun di sana .”
“Bagaimana bisa secepat itu prosesnya ?” Tanyaku heran.
“Surat keputusan beasiswa itu sudah lama kudapat. Tapi aku pikir karirku sangat menjanjikan. Namun saat kubaca suratmu, aku terhenyak bahwa mungkin inilah keputusan terbaik untuk kembali merebut hatimu.”
Pram menggenggam tanganku. Dia menyisipkan surat yang pernah kutulis .
“Jangan pernah tulis surat seperti ini lagi ya .“ Dia melipat kecil surat itu dan menyembunyikannya di dalam genggamanku. Aku membukanya kembali walau dia berusaha mencegahnya,
Pramudya kekasihku,
Maafkan atas surat yang kutulis ini.
Pram…dengan berat hati aku harus pergi dari hidupmu. Bukan karena kamu , mungkin benar perubahan itu terjadi padaku. Hanya satu hal yang ku sadari bahwa telah kehilangan jiwamu. Bagiku, ini sangat penting karena bukan sosok Pramudya yang kucintai sesungguhnya jiwa di dalamnya yang memesonaku.
Maaf Pram…bagiku jiwa itu telah pergi…
Bila tetap di sisimu , artinya aku yang mati. Dan…aku tidak bisa ! Hidup ini harus dihadapi dengan jiwa bila tidak kita akan kehilangan nafas kemanusiaan yang mampu mengasihi, menghargai dan memaknai hidup.
Pram…..percayalah ! Ini sebuah keputusan yang berat. Tapi demi Ivana hidup harus terus berlanjut. Aku akan memberinya jiwa bukan kefanaan dunia agar dia kelak menjadi anak yang berhati mulia.
Sukses dengan impianmu ya!

Yang selalu mencintaimu,

Raningtyas

Senyumku mengembang . Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menyatukan jiwa kami, Aku , pramudya dan buah cinta kami , Ivana.

November,2008

Cerpen : Selimut Duka

Selimut Duka
Oleh : Ariani Selviana

Matanya terpejam tenang sekali. Kutepuk perlahan pipi tirus , tidak ada lagi sambutan. Aliran darah deras menghangati wajah dan segera dadaku merasa sesak oleh rasa kehilangan. Sekonyong-konyong aku terisak , “ Bapak…..Pak…Pak ..”
Sadar akan sesuatu yang terjadi, Warlan segera menghentikan laju mobil. Ibu yang sedari tadi asyik mengoleskan minya kayu putih ke dada bapak, terpaku .
“ Mengapa berhenti ? Jalan. Jalan terus!!”
Warlan tak bergeming. Dia menelungkupkan wajahnya sejenak di atas kemudi. Namun dia ikuti juga apa yang diperintahkan ibu kepadanya.
Ibu memaksa adikku bergerak cepat menembus kemacetan. Minyak kayu putih terus dioleskan ke dada bapak sambil terus berusaha mengajaknya bicara.
Kuusap lembut rambut ikal ibu “ Kita pulang saja. Bapak perlu istrirahat.” Ibu menolak. Kuraih tangannya yang basah , kuantarkan pada kening Bapak.
“ Bapak bilang begitu ,Bu.” Sejenak kemudian tangisnya pecah.
“Kamu biarkan Bapak pergi.” Dia mencubit lenganku. Tak terasa sakit sebab ada yang lebih sakit daripada itu. Hatiku. Adikku menghentikan laju mobil. Dia kembali memastikan tentang ‘kepergian’ itu. Tak ada yang menjawab semua bersimbah airmata.
“ Dik , Kita pulang .”
Dia menangis memeluk kemudi. Tangis itu begitu lepas. Belum pernah dia menangis sepilu itu. Hatiku semakin pedih tapi kuberanikan diri mengambil alih kemudi. Naluriku sebagai kakak tertua membisiki bahwa aku harus tegar.
Dadaku terasa sesak oleh emosi yang tertahan. Genangan air di mataku memburamkan jalan. Aku yang ‘cengeng’ sekuat tenaga menahan bendungan duka itu.
Sesampai di rumah , adikku Warlan meminta pertolongan tetangga untuk membopong jasad bapak ke kamar. Saat mereka mengusung tubuh itu, hatiku semakinn tersayat. Bapak benar-benar sudah pergi. Tak ada respon sama sekali hanya tangannyanya yang menggelambir kesana kemari tak bertenaga. Dia dibaringkan di atas ranjang yang selama sakit sangat dibencinya. Dokter keluarga memastikan kepergian bapak dengan memberiku ‘surat kematian’. Tanganku gemetar menerimanya. Kepedihan yang sedari tadi kubendung pecah bagaikan aliran sungai deras membobol tanggul.
Kupeluk tubuh ringkih bapak- yang kepadanya sering kusandarkan kegelisahan- kesadaranku terbuka penuh bahwa dia memang sudah mati. Mati ! Dia tak lagi membalas pelukku. Kuciumi pipinya yang mulai mendingin. Tak akan pernah senyum lebar terkembang di sana. Senyum yang senantiasa memecut semangat dan meyakinikanku bahwa dunia ini harus ditaklukan. Berjam-jam aku berdua bersama bapak. Ibu membiarkan begitu sekalipun dia ingin . Aku memang memiliki kedekatan kepada bapak.
“ Ayo tidur . Bapak pasti datang sebentar lagi.” Begitu saran ibu saat aku bertarung dengan kantuk untuk menunggu bapak pulang. Tentu Ibu kuatir , anak sekolah dasar sepertiku masih terjaga di tengah malam. Tapi akhirnya ibu mengalah karena ‘hal itu’ memang tak bisa kulakukan.
Orang banyak menyatakan bahwa aku duplikat bapak. Tidak mengherankan karena selama aku berada di dalam kandungan Ibuku. Ibu begitu membencinya. Entah mengapa begitu. “Bawaan Orok” begitu istilahnya . Apa yang dicita-citakan bapak terhadapku menjadi kenyataan. Sekalipun sebagai orang batak yang biasanya sangat mendambakan anak lelaki , tetapi tidak dengan bapakku. Aku diimpikannya lahir sebagai anak perempuan.
Saat kulahir ke dunia. Bapak menamaiku dengan sebuah nama yang memprasastai perjalanan kisah cinta mereka yang penuh liku. Ibuku yang berasal dari suku dan keyakinan berbeda sangat menggundahkan keluar besar bapak. Tapi dia telah dikalahkan oleh cinta. Bukan terbutakan tetapi lebih pada kesadaran bahwa takdir lahir-jodoh-mati sudah digariskan Tuhan. Bapak berprinsip bahwa semua kisah yang menjadi bagian hidupnya adalah perintah yang harus dijalani sekalipun semua orang menentang. Baginya tidak ada satupun yang patut mendapat kepatuhan itu selain ‘Dia’.
Kekokohan itu berbuah, ketika tangis pertamaku menyapa dunia. Gunung es di hati kakek pun mencair. Dia datang dan menginjak tanah Jawa pertama kali seumur hidupnya untuk menyapaku.
Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Dua petugas medis datang hendak menyuntikan formalin. Karena tidak tega .Aku keluar.
Di ruang tamu , Pak Salomo sudah duduk . Dia ketua majelis gereja tempat bapak dan ibu berbakti. Beberapa menit kemudian sahabat-sahabat bapak bermunculan. Selama hidupnya bapak memang punya banyak sahabat. Padahal dia dikenal sebagai orang yang ‘tegas’ . Prinsip hidupnya adalah menyatakan kebenaran sekalipun ‘menyakiti’ orang. “ Yang baik tidak selalu benar. Tetapi menyatakan yang benar pastilah mendatangkan kebaikan.” Kata-katanya itu yang selalu melekat dalam benakku. Dia tidak pernah peduli ‘dimusuhi’. Apa yang harus dinyatakan tetaplah berlaku. Tetapi ‘kebenaran’ itu memang terbukti sekalipun waktulah yang mengujinya.
Pada upacara penghiburan, beberapa sahabat memberikan testimoni betapa bapakku telah membukakan ‘mata’ mereka. ‘Penyesalan dan pengakuan yang tak sempat terujar itu’ dikirimkan melalui ibu.
Satu per satu upacara adapt melepas jenazah dilaksanakan. Wajah ibuku sudah nampak letih. Air matanya sudah kering tetapi tidak dengan hatinya. Ibu memang lebih ringan sekarang karena ketelatenan dan kesabarannya merawat bapak telah berujung. Dia mengambil sebotol ‘minyak kayu putih ’ yang selalu ‘akrab’ dalam genggamannya saat bapak masih sakit. Dibasahi ujung jemari dan disapukan pada bagian yang sering dikeluhkan nyeri oleh bapak. Mulutnya berkomat-kamit. Sebentar-sebentar dibenahi ‘ulos’ kabung yang menudungi kepalanya. Sebuah kidung yang menjadi ‘kegemaran bapak‘ disenandungkannya perlahan.
Paman dan bibiku dari seberang berdatangan. Rumah menjadi sesak. Para ibu tetangga membantu memasak .Tradisi kita memang tidak lepas dari tata krama .Sekalipun dalam kedukaan, menjamu tamu adalah suatu keharusan yang sudah membudaya. Aku yang menjadi delegasi ibu untuk menangani semua itu menjadi mengerti bahwa , “dibalik kemalangan pastilah ada hikmat tersembunyi” Aku memetik semua itu. Dari catatan kumal ibu kutemukan daftar beberapa nama yang dapat membantu menyediakan lauk-pauk khas untuk keperluan upacara adat. Saat kubuka ‘kitcheb set’ , piranti makan lengkap tersedia dalam jumlah besar sehingga tidak merepotkan untuk meminjam ke kanan kiri. Kebiasaan ibu membeli perabot –yang senantiasa kuprotes karena merupakan pemborosan – sangat berguna. Ibu memang cepat beradaptasi sebagai pendatang di keluarga bapak. Baginya , pantang tamu keluar dari pintu rumah dalam keadaan perut kosong. Meskipun hanya dengan telur ‘ceplok’ dan sayur bening tak apalah.
Jenazah bapak sudah harus dikebumikan . Aku mendapat tugas mencari peti mati. Aku dan adik lelakiku meluncur ke sebuah rumah duka . Aneka peti mati tersedia di sana. Mulai dari yang berkelas yang terbuat dari kayu kualitas terbaik yang diamplas halus dan bercat semprot hitam coklat elegan , berlapis draperi sutra halus di bagian dalam. Bagian penutup dilapisi kaca tebal yang bergravir ayat-ayat suci. Sebuah peti mati bak ‘ karya seni’ yang hanya menjadi santapan sia-sia cacing dan rayap di dalam tanah. Peti yang menjadi lambang penghormatan- atau mungkin juga gengsi - sang ahli waris tetapi tidak untuk penghuni di dalamnya.
Aku memilih peti mati yang sederhana , selama bapak hidup dia sangat menganut filosofi ini. Di tengah derasnya kemajuan teknologi bapak tetap menggunakan uang ‘cash’ dibandingkan dengan ‘uang plastik’ . Pakaian yang dipakai pun tidak ‘neko-neko’.
“Yang ‘adem’ saja yang model dan warnanya sederhana, ya !” Begitu pesannya bila kutawari hadiah ulang tahun.
Bersalut jas hitam kesayangannya ,bapak tampak damai dalam ‘tidur’. Dia dibaringkan dalam peti mati itu
Bapak pendeta menutup khotbahnya dengan pesan bahwa kematian hanyalah tidur panjang yang tidak perlu dilaruti kesedihan mendalam. Saat peti hendak ditutup seorang kerabat ‘mangandung’ sangat pilu. Dia membelai-belai rambut jasad bapak sambil terus berucap.
“Maafkan aku abang…maafkan aku abang.” Begitu terus sampai kami semua yang hadir terbangkit tangis.

Peti ditutup dan dimasukkan ke dalam mobil jenazah. Bendera kuning dikibarkan oleh seorang polisi bermotor yang memang dibayar oleh keluarga untuk memimpin iring-iringan menuju tempat peristirahatan terakhir.
Prosesi pemakaman berjalan lancar. Semua orang menarik napas lega karena tugas mereka sebagai mahluk sosial bermartabat yang memiliki kewajiban saling asah, asih ,dan asuh. telah usai dilaksanakan. Kami semua meninggalkan bapak sendirian dalam kebisuan.
Tak ada lagi air mata, sepanjang perjalanan pulang kami mengembara dalam rimba pikir masing-masing. Sesekali kepalaku membentur dinding mobil karena kantuk yang sangat.
Hidup yang kami hadapi tidak akan sama lagi. Tapi kenangan tentang ayah akan tetap tinggal.


Medio of November 2006