Rabu, 29 Juli 2009

Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia

Kalau kita melihat perkembangan bahasa Indonesia sejak dulu sampai sekarang, tidak terlepas dari perkembangan ejaannya. Kita ketahui bahwa beberapa ratus tahun yang lalu bahasa Indonesia belum disebut bahasa Indonesia, tetapi bahasa Melayu. Nama Indonesia itu baru datang kemudian.

Kita masih ingat pada masa kerajaan Sriwijaya, Ada beberapa prasasti yang bertuliskan bahasa Melayu Kuno dengan memakai huruf Pallawa (India) yang banyak dipengaruhi bahasa Sanskerta, seperti juga halnya bahasa Jawa Kuno. Jadi bahasa pada waktu itu belum menggunakan huruf Latin. Bahasa Melayu Kuno ini kemudian berkembang pada berbagai tempat di Indonesia, terutama pada masa Hindu dan masa awal kedatangan Islam (abad ke-13). Pedagang-pedagang Melayu yang berkekeliling di Indonesia memakai bahasa Melayu sebagai lingua franca , yakni bahasa komunikasi dalam perdagangan, pengajaran agama, serta hubungan antarnegara dalam bidang ekonomi dan politik.

Lingua franca ini secara merata berkembang di kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan. Banyak pedagang asing yang berusaha untuk mengetahui bahasa Melayu untuk kepentingan mereka. Bahasa Melayu ini mengalami pula penulisannya dengan huruf Arab yang juga berkembang menjadi huruf Arab-Melayu. Banyak karya sastra dan buku agama yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu. Huruf ini juga dijadikan sebagai ejaan resmi bahasa Melayu sebelum mulai digunakannya huruf Latin atau huruf Romawi untuk penulisan bahasa Melayu, walaupun masih secara sangat terbatas.


Ejaan latin untuk bahasa Melayu mulai ditulis oleh Pigafetta, selanjutnya oleh de Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus Dancaert, dan Joannes Roman. Setelah tiga abad kemudian ejaan ini baru mendapat perhatian dengan ditetapkannya Ejaan Van Ophuijsen pada tahun 1901.

Keinginan untuk menyempurnakan ejaan Van Ophuijsen terdengar dalam Kongres Bahasa Indonesia I, tahun 1938 di Solo, yang sembilan tahun kemudian terwujud dalam sebuah Putusan Menteri Pengadjaran Pendidikan dan Kebudajaan, 15 April 1947, tentang perubahan ejaan baru. Perubahan tersebut terlihat, antara lain, seperti di bawah ini.

Van Ophuijsen 1901 : boekoe, ma’lum, ’adil, mulai, masalah, tida’, pende’

Soewandi 1947 : buku, maklum, adil, mulai, masalah, tidak, pendek

Perubahan Ejaan bahasa Indonesia ini berlaku sejak ditetapkan pada tahun 1947. Waktu perubahan ejaan itu ditetapkan rakyat Indonesia sedang berjuang menentang kembalinya penjajahan Belanda. Penggunaan Ejaan 1947 ini yang lebih dikenal sebagai Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik, sebenarnya memancing reaksi yang muncul setelah pemulihan kedaulatan (1949). Reaksi ini kemudian melahirkan ide untuk mengadakan perubahan ejaan lagi dengan berbagai pertimbangan mengenai sejumlah kekurangan.

Gagasan mengenai perubahan ejaan itu muncul dengan nyata dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Waktu itu Menteri Pendidikan dan Kebudajaan adalah Mr. Muh. Yamin. Dalam kongres itu dihasilkan keputusan mengenai ejaan sebagai berikut :
1. Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan

satu huruf.
2. Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh satu badan yang

kompeten.
3. Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah.

Keputusan kongres ini kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah, yang menghasilkan konsep sistem ejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan. Namun Ejaan ini tidak dapat dilaksanakan karena adanya beberapa huruf baru yang tidak praktis,yang dapat memengaruhi perkembangan ejaan bahasa Indonesia.

Terilhami oleh Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954), diadakan pula kongres bahasa Indonesia di Singapura (1956) yang menghasilkan suatu resolusi untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu di Semenanjung Melayu dengan ejaan bahasa Indonesia di Indonesia. Perkembangan selanjutnya dihasilkan suatu konsep ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Ejaan Melayu-Indonesia). Namun, rencana untuk meresmikan ejaan ini pada tahun 1962 mengalami kegagalan karena adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun kemudian.

Pada tahun 1966 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Anton M. Moeliono dan mengusulkan konsep baru sebagai ganti konsep Melindo.Pada tahun 1972, setelah melalui beberapa kali seminar, akhirnya konsep LBK menjadi konsep bersama Indonesia-Malaysia yang seterusnya menjadi Sistem Ejaan Baru yang disebut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Kalau kita beranalogi dengan Ejaan Van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi, EYD dapat disebut Ejaan Mashuri, karena pada waktu itu Mashuri sebagai Mnteri Kebudayaan memperjuangkan EYD sampai diresmikan oleh presiden.

Ada empat ejaan yang sudah diresmikan pemakaiannya yaitu :
1. Ejaan Van Ophuijsen (1901)
2. Ejaan Soewandi (1947)
3. Ejaan Yang Disempurnakan (1972)
4. Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975)

Sistem ejaan yang belum atau tidak sempat diresmikan oleh pemerintah adalah :
1. Ejaan Pembaharuan (1957)
2. Ejaan Melindo (1959)
3. Ejaan LBK (1966)

1. Ejaan van Ophuijsen

Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.

a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.

b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.

c. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.

2. Ejaan Soewandi

Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.

a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.

b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.

c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.

d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.

3. Ejaan Melindo

Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.

4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.

Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987. Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sebagai berikut.


1. Perubahan Huruf

Ejaan Soewandi

Ejaan yang Disempurnakan

dj

djalan, djauh

j

jalan, jauh

j

pajung, laju

y

payung, layu

nj

njonja, bunji

ny

nyonya, bunyi

sj

isjarat, masjarakat

sy

isyarat, masyarakat

tj

tjukup, tjutji

c

cukup, cuci

ch

tarich, achir

kh

tarikh, akhir

2. Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya.

f

maaf, fakir

v

valuta, universitas

z

zeni, lezat

3. Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap

dipakai

a : b = p : q
Sinar-X

4. Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.

di- (awalan)

di (kata depan)

ditulis

di kampus

dibakar

di rumah

dilempar

di jalan

dipikirkan

di sini

ketua

ke kampus

kekasih

ke luar negeri

kehendak

ke atas

5. Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.

anak-anak, berjalan-jalan, meloncat-loncat

Sejarah dan Perkembangan Bahasa Indonesia

Sebagaimana Anda ketahui, bahasa Indonesia yang sekarang ini berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan yang ditempuh oleh bahasa Indonesia tak terpisahkan dengan perjalanan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia untuk merdeka. Sejalan dengan hal tersebut, sejarah perkembangan bahasa Indonesia dapat ditinjau dari masa sebelum Indonesia merdeka dan masa sesudah merdeka.

Peristiwa bersejarah yang monumental bagi bangsa dan bahasa Indonesia adalah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Ikrar Sumpah Pemuda itu terdiri atas tiga butir yang berbunyi sebagai berikut

Pertama :

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kedua :

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Ketiga:

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Bahasa Melayu adalah Cikal Bakal Bahasa Indonesia

Nama “bahasa Indonesia” baru dikenal sejak 28 Oktober 1928, yang sebelumnya bernama “bahasa Melayu.” Bahasa Melayulah yang mendasari bahasa Indonesia yang kemudian diangkat menjadi bahasa persatuan. Masalah yang menarik perhatian para ahli sosiologi bahasa adalah kondisi apa yang memungkinkan bahasa Melayu dipilih dan disepakati untuk diangkat menjadi bahasa nasional. Dan, mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda yang jumlah penuturnya lebih banyak daripada bahasa Melayu.


Berikut ini dikemukakan beberapa alasan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.

1. Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita. Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah lainnya.

2. Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan yang melampaui batas-batas wilayah bahasa lain meskipun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun bahasa daerah lainnya.

3. Bahasa Melayu .masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.

4. Bahasa Melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa.

5. Bahasa Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur yang berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan tidak rnenimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah.


Sesudah, diikrarkan Sumpah Pemuda, terutama yang berkaitan dengan ikrar ketiga, St. Takdir Alisjahbana menjelaskan secara luas apa yang disebut bahasa Indonesia. Dia menyatakan, “bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan setelah bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”.
Sejalan dengan pendapat di atas, H.B. Yassin menyatakan bahwa Sumpah Pemuda adalah suatu manifesto politik yang juga mengenai bahasa. Penamaan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia tidak berdasarkan perbedaan dalam struktur dan perbendaharaan bahasa pada masa itu, tetapi semata-mata dasar politik. Dalam bahasa tidak terjadi perubahan apa-apa, tetapi hanya berganti nama sebagai pernyataan suatu cita-cita kenegaraan, yaitu kesatuan, tanah air, bangsa dan bahasa.
Perlu Anda ketahui bahwa pada zaman penjajahan Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua, di samping bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan Rakyat. Sayangnya, anggota bumiputra tidak banyak yang memanfaatkannya.

Kongres Bahasa Indonesia

Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hasil keputusan yang penting, yaitu bahasa Indonesia diusulkan menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan.
Demikianlah “lahir”nya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsyafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Dan, api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka, yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah Jepang.

Pada tahun 1954 diadakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Dalam Kongres itu ditegaskan bahwa politik bahasa harus mengatur kedudukan dan hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Selain itu, politik bahasa harus membangkitkan rasa setia dan bangga akan bahasa Indonesia. Pernyataan kedua ini menyiratkan bahwa rasa setia dan bangga akan bahasa nasional belum tampak dalam perilaku berbahasa Indonesia. Mungkin sekali masih banyak orang Indonesia yang suka berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 1975 di Jakarta diadakan Seminar Politik Bahasa Nasional. Politik bahasa nasional adalah kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengolahan keseluruhan kebahasaan. Dalam seminar itu diputuskan ihwal kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, misalnya bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa-bahasa daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional, yang dilindungi oleh negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 36 Bab XV, UUD 1945 (sebelum amandemen), yang berbunyi:

Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah. Adapun dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di SD di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya, dan (c) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah
.Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Jepang, dan Cina berkedudukan sebagai bahasa asing. Kedudukan ini didasarkan atas kenyataan bahwa bahasa asing tertentu itu diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan pada tingkat tertentu. Di dalam kedudukan yang demikian, bahasa-bahasa asing itu tidak bersaingan, baik dengan bahasa Indonesia maupun dengan bahasa daerah. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Jepang dan Cina berfungsi sebagai alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional.

Pada tahun 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta

Kongres tersebut dilaksanakan dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-50. Kongres itu bertujuan memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia baik sebagai bahasa nasional sesuai dengan isi dan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maupun sebagai bahasa negara, sesuai dengan Bab XV, Pasal 36, UUD 1945 (sebelum amandemen) Keputusan dan kesimpulan kongres itu menyangkut kepentingan segenap lapisan masyarakat. Masalah bahasa adalah masalah nasional.
Sementara itu, pada tahun (1983) di Jakarta diadakan Kongres Bahasa Indonesia IV. Dalam kesimpulan umum dikatakan bahwa fungsi bahasa Indonesia makin mantap, baik sebagai alat komunikasi sosial administratif maupun sebagai alat komunikasi ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dan, sebagai alat penyebarluasan ilmu, bahasa Indonesia telah dapat pula menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini terbukti dengan makin banyaknya buku-buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.


Kongres Bahasa Indonesia V diadakan pada tahun 1988 di Jakarta.
Kongres itu menghasilkan sejumlah putusan yang meliputi bidang bahasa, pengajaran bahasa, dan pengajaran sastra. Dalam simpulan umum dinyatakan bahwa kedudukan bahasa Indonesia makin mantap, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara. Meskipun demikian, pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar masih perlu ditingkatkan. Sebagai tindak lanjutnya, perlu diperhatikan dan dilaksanakan hal-hal berikut ini.

Para pejabat diimbau berbahasa Indonesia ‘ Secara baik dan benar karena mereka menjadi anutan masyarakat. Para peneliti hendaklah membiasakan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah secara logis, lugas, cermat, dan tepat.Dalam menyampaikan pesan tentang konsep-konsep pembangunan kepada masyarakat hendaknya digunakan bahasa yang akrab dan sederhana sesuai dengan daya tangkap masyarakat. Penggunaan bahasa asing pada papan-papan nama gedung umum,hendaknya diganti dengan bahasa Indonesia. Pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah dan modern masih perlu menyerap kata-kata baru, baik yang berasal dari bahasa serumpun maupun dari bahasa asing, sesuai dengan keperluan. Oleh sebab itu, penutur bahasa Indonesia diimbau tidak bersikap nasionalisme sempit yang
berlebihan. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia, yang meliputi kebanggaan dan kesetiaan pada bahasa Indonesia serta kesadaran akan kaidah bahasa perludipupuk terus.

Bahasa Indonesia VI diadakan pada tahun 1998 di Jakarta.

Kongres dengan tema “Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000″ itu bertujuan memantapkan peran bahasa Indonesia sebagai sarana pembangunan bangsa, sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana pembinaan kehidupan bangsa. Adapun subtemanya adalah (1) Bahasa Indonesia Merupakan Sarana yang Kukuh dalam Pembangunan Bangsa, (2) Peningkatan Mutu Bahasa Indonesia Memperlancar Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan (3) Peningkatan Kemampuan Masyarakat Berbahasa Indonesia Memperkaya Kehidupan Budaya Bangsa.
Sebagaimana Anda ketahui, jaringan masalah kebahasaan di Indonesia memang sangat kompleks. Hal itu disebabkan oleh adanya persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah, juga adanya persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing, ditambah pula datangnya berbagai tuntutan agar hanya didasarkan pada eksistensi bahasa Indonesia sebagai sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor nonkebahasaan seperti politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan.

Kedudukan Bahasa Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang


Pada tahun 1942 Jeparig menduduki Indonesia. Dalam keadaan tiba-tiba, Jepang tidak dapat memakai bahasa lain, selain bahasa Indonesia untuk berhubungan dengan rakyat Indonesia. Bahasa Belanda jatuh dari kedudukannya sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang digunakan. Sebenarnya Jepang mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud membuat bahasa Jepang menjadi bahasa resmi di Indonesia sebagai pengganti bahasa Belanda. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat seperti waktu dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang memilih jalan yang praktis, yaitu memakai bahasa Indonesia yang sudah tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Perlu Anda catat bahwa selama zaman pendudukan Jepang 1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan.
Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari berorientasi terhadap bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memakai bahasa Indonesia.
Waktu Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua peristiwa tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional identik dengan bahasa persatuan yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan semangat kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara secara formal belum terwujud. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus seiring dengan sejarah bangsa pemiliknya.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


Yang dimaksud dengan kedudukan adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial bahasa yang bersangkutan. Sedangkan fungsi adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu dalam kedudukan yang diberikan kepadanya.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki sejak diresmikan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebangsaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa yang latar belakang sosial budaya dan bahasanya berbeda, dan (4) alatperhubungan antardaerah dan antarbudaya.

Senin, 27 Juli 2009

Handout : Sejarah Lahirnya Angkatan Sastra di Indonesia

Sejarah Lahirnya Angkatan Sastra di Indonesia

Pujangga Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.

Angkatan Balai Pustaka

Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.

Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka

1.Merari Siregar

Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921)

Binasa kerna gadis Priangan! (1931)

Tjinta dan Hawa Nafsu

2.Marah Roesli

Siti Nurbaya

La Hami

Anak dan Kemenakan

3. Nur Sutan Iskandar

Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan

Hulubalang Raja (1961)

Karena Mentua (1978)

Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)

4.Abdul Muis

Pertemuan Djodoh (1964)

Salah Asuhan

Surapati (1950)

5. Tulis Sutan Sati

Sengsara Membawa Nikmat (1928)

Tak Disangka

Tak Membalas Guna

Memutuskan Pertalian (1978)

6.Aman Datuk Madjoindo

Menebus Dosa (1964)

Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)

Sampaikan Salamku Kepadanya

7.Suman Hs.

Kasih Ta’ Terlarai (1961)

Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)

Pertjobaan Setia (1940)

8.Adinegoro

Darah Muda

Asmara Jaya

9. Sutan Takdir Alisjahbana

Tak Putus Dirundung Malang

Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)

Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)

10.Hamka

Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)

Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)

Tuan Direktur (1950)

Didalam Lembah Kehidoepan (1940)

Anak Agung Pandji Tisna

Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)

Sukreni Gadis Bali (1965)

I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)

11.Said Daeng Muntu

Pembalasan

Karena Kerendahan Boedi (1941)

12.Marius Ramis Dayoh

Pahlawan Minahasa (1957)

Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)

Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.

Sejarah singkat tentang Pujangga Baru

Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia.

Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah ke depan.

Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan.

Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.

Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya.

Sejarah Singkat Angkatan 45

Rosihan Anwar dalam sebuah tulisannya dimajalah Siasat tanggal 9 Januari 1949, memberikan nama angkatan 45 bagi pengarang-pngarang yang muncul pada tahun 1940-an. Yakni sekitar penjajahan Jepang, zaman Proklamasi dan berikutnya.

Di antara mereka yang lazim digolongkan sebagai pelopornya adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramudya, Usmar Ismail dsb. Nmaun sesungguhnya, tidak hanya itu saja saja alasan untuk memasukkan mereka kedalam angkatan yang lebih baru dari Pujanga Baru. Jelasnya, terlihat sekali pada karya-karya Chairil dimana ia telah membebaskan diri dari kaidah-kaidah tradisional kita dalam bersajak.

Lebih dari itu, “jiwa” yang terkandung dalam sajak-sajaknya terasa adanya semacam pemberontakan. Kendatipun demikian tak lepas dari pilihan kata-kata yang jitu, yang mengena, sehingga terasa sekali daya tusuknya.

Di bidang Prosa, Idrus dianggap sebagai pendobraknya dan sebagai pelanjut dari Pujangga Baru, bersama kawan-kawannya ia berkumpul dalam Angkatan 45.Landasan yang digunakan adalah humanisme universal yang dirumuskan HB Jassin dalam Suat kepercayaan Gelanggang. Jadi angkatan 45 merupakan gerakan pembaharuan dalam bidang sastra Indonesia, dengan meninggalkan cara-cara lama dan menggantikannya dengan yang lebih bebas, lebih lugas tanpa meninggalkan nilai-nilai sastra yang telah menjadi kaidah dalam penciptaan sastra.

Angkatan 66

Tentang Angkatan 66 ada empat orang penulis yang mengutarakannya. Mereka itu HB Jassin dalam angkatan 66 Prosa dan Puisi (1968) , Satyagraha Hoerip artikelnya dalam horison yang berjudul Angkatan 66 dalam Kesusasteraan Kita (1966) , Artikel Aoh K Hadimadja berjudul Daerah dan Angkatan 66 majalah Horizon-1967, Artikel Racmat djoko Pradopo Penggolongan Angkatan dan angkatan 66 dalam Sastra-Horison Juni 1967

Mereka memang saling berbeda pendapat atau persepsi namun tak begitu prinsipil karena sesungguhnya tidak ada pihak yang dirugikan. Bagi mereka, para pengarang itu, masuk golongan apapun tak jadi soal.

Akan tetapi menurut HB Jassin, “Angkata 66 Bangkitya Satu Generasi” (Horison, Agustus 1966) adalah suatu angkatan. Adapun yang termasuk dalam angkatan 66 ini menurutnya adalah mereka-mereka yang takkala proklamasi kemerdekaan (1945) kira-kira berumur enam tahun dan baru masuk SD/SR. Jadi tahu 1966 baru sekitar 20-an tahu. Mereka itu telah giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 1955-an seperti Kisah, Siasat , Mimbar Indonesia , Budaya, Crita, Sastra, Konfrontasi, Basis, Prosa dan sebagainya.

Untuk angkatan 66 seperti yang digolongkan oleh HB Jassin itu, yang lain sekitar zaman pendudukan Jepang, menurut Satyagraha Hoerip lebih tepat kalau dimasukkan kedalam angkatan Manifes ( Horison Desember 1966 ). Tentu saja bukannya tanpa alasan. Sebab memang merekalah yang sebagian besar tergabung atau justru terang-terangan mendukung adanya Manifes Kebudayaan di tahun 1964 yang kemudian dilarang oleh Presiden Soekarno tahun berikutnya.

Dengan demikian bisa dicatat nama-namanya , antara lain : Ajip Rosidi, Rendra, Taufiq Ismail, Hartojo Andangjaya, Mansur Samin, Goenawan Muhammad, Djamil Suhirman , Bur Rasuanto, Bokor Hutasuhut, Bastari Asnin dll. Jadi yang temasuk angkatan 66 ini bukannya yang baru menulis sejak adanya perlawanan ditahun 1966. Tetapi, justru yang telah sejak beberapa tahun sebelumnya dengan satu kesadaran.

Ajip Rosidi didalam kertas kerjanya di Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa Kedua Jakata tahun 1960, malahan sudah menggunakan istilah Angkatan Terbaru. Menurutnya, mereka muncul pada saat dunia sastra kita digamangi oleh kemuraman karena adanya krisis, kelesuan dan impase (kebuntuan). Mereka merupakan hasil pengajaran yang tumbuh dalam pengaruh kesusasteraan Indonesia. Mereka telah memberikan nilai baru terhadap ilham dan tempat berpijak serta berakar secara kultural.

Untuk lebih jelasnya, lihat buku Ajip Rosidi Kapan Kesusasteraan Indonesia Lahir (1968), juga simak tulisan HB Jassin Angkatan 66, Bangkitnya satu generasi, dalam bukunya Angkatan 66 Prosa dan Puisi terbitan tahun 1968.