Senin, 25 Oktober 2010

Cerpen Kelvin Johanes Tantowi

A K U

J

ika ada sebuah kanvas dapat melukiskan perasaanku sekarang, maka kanvas itu akan robek dan hancur tercabik-cabik. Mungkin aku bukanlah orang yang sempurna, mungkin sangat jauh dari hal itu. Namun mengapa semua orang seolah memojokanku hingga demikian parah. Aku ingin berteriak, namun aku tak mampu. Aku ingin seseorang mendengarkan ku dan memelukku dan menjagaku terus disisiku. Namun apa daya, aku hanya dapat mendengarkan mereka.

Andai saja, aku menjaga tubuhku sebelum semuanya telah terlambat seperti ini. Andai saja, aku dapat menahan musibah itu. Musibah yang merubah seluruh masa depanku, hidupku, dan segalanya. Semuanya terlambat. Sekarang hal yang dapat aku lakukan hanyalah berbaring, menanti, dan mendengar. Penyakit ini menyeretku kepada kehampaan dunia. Bagiku detak jantungku sendiri adalh symphony terindah dalam hidupku. Namun hadirat manusia mengalahkan segalanya, khususnya istriku.

Suntikan, obat, dan infus adalah nafasku sehari-hari. Separuh hartaku yang telah aku usahakan selama ini habis untuk menjaga kelangsungan hidupku. Istriku adalah satu-satunya pribadi yang paling setia, dan memahami aku. Hanya ia yang paham akan kebutuhanku. Setiap harinya, istriku membacakan kata-kata motivasi untukku hidup. Ia selalu menyanyikan senandung merdu setiap malam untukku. Hanya ia satu satunya yang dapat memadamkan amarahku. Hanya ia yang dapat menghiburku dikala hatiku gelisah. Hanya dia yang dapat menghapus air mata hatiku. Jika aku dapat pulih dan bangun, aku akan memeluk erat istriku dan berkata Aku mencintaimu. Penyesalanku telah lama kupendam. Sesalku terhadap istriku sendiri. Mengapa aku menyia-nyiakannya dahulu. Mengapa aku tak pernah acuh dengannya dikala ia memerlukan aku. Istriku, andai kau dapat membaca bahasa hembusan nafasku. Kupanjatkan setiap permohonan maafku dan rasa terimakasihku padamu lewat hembusan nafasku. Istriku, maafkan aku yang dahulu. Aku sekarang sadar. Aku sekarang paham.

Dua tahun sudah aku berbaring disini. Namun, istriku masih seperti mulanya. Ia tetap mengiringi selah kehidupanku dengan siraman motivasi hidup. Mungkin tak terhitung jumlahnya, ia telah berkata aku mengasihimu, padaku. Hatiku menjerit setiap kali lontaran kata itu diutarakan. Aku menangis, aku pilu, namun telah lama luapan emosi ini tak tertumpahkan. Aku menahannya.

Disebuah malam, Februari malam, namun sayangnya aku lupa hari berapa, namun satu hal aku tahu. Istriku berulang tahun. Aku menjerit kepada tubuhku, “ Hey Tubuh! Bangunlah! Ucapkanlah kasih sayangmu di hari spesial istrimu!”. Namun tak ada jawaban apapun. Tak ada tanda-tanda apapun. Aku memaksa tubuhku. Aku kerahkan seluruh energi dalam tubuhku selam ini. Aku mengepalkan tanganku. Aku menggigit bibir bawahku. Hati dan pikiranku aku goncangkan. Adrenalinku aku pacu. Namun aku masih belum berhasil untuk siuman. Detak jantungku naik drastis, seluruh perawat dan dokter menggerumuniku. Mereka cemas akan aku. Beberapa menit setelahnya istriku datang dan memegang erat jemari tanganku. Aku pun menjadi lebih tenang. Namun guncangan hebat dari jantungku sebelumnya membuat kesehatanku menurun. Sekarang istriku ada disampingku dan kehilangan kebahagiaan pada hari ulang tahunnya. Kembali ia berkata bahwa ia mengasihiku dan ia meminta maaf ia terlambat datang di hari itu. Pukulah hebat aku rasakan ketika itu juga. Pukulan yang tepat menancap di benakku. Ditambah lagi aku dapat merasakan derai air matanya di jemariku, dan helaan nafasnya yang menggambarkan kegelisahannya. Perasaan yang selama ini aku hindari kembali muncul. Rasa penyesalan dan bersalah yang tak terselesaikan.

Malam itu bagaikan malam petaka bagiku. Istriku menemaniku hingga cahaya pagi menyongsong. Ia tidur dengan tangan terlipat dan duduk disebelahku sepanjang malam. Sejak saat itu, aku bertekad untuk tidak mengulangi tindakan yang sama. Aku tidak akan membuat suasana berantakan dan kacau.

Malam itu menjadikan pelajaran yang sangat berharga bagiku. Malam yang mengajariku untuk menghargai waktu yang ada. Malam yang mengajarkan untuk mengendalikan diri sebagaimana seharusnya. Malam yang mengajariku untuk berdamai dengan keadaanku.

Malam itu, mulai pudar. Waktu terus berlari, detak jantungku terus menghitung. Pikiran dan raga ku mulai beradu. Mereka tidak serasi. Mereka berlawanan. Mereka terus bergejolak dalam jiwaku. Aku ingin kabur dari semua ini. Namun aku tak bisa. Terkadang terlintas dibenakku, aku ingin ajal segera menjemput, namun disaat seperti itu, istriku menjadi pemadam terhadap semua gagasan berbahaya itu. Ia yang terus menjaga gairah hidupku setiap waktu. Ia yang memberikan aku semangat untuk melanjutkan riwayat hidupku di masa sisa ini.

Bagiku waktu hanyalah penghalang kebahagiaanku. Aku ingin bebas. Aku ingin pergi dari keadaanku. Namun tetap saja aku tak mampu. Aku tak mampu menggerakan raga yang besar ini. Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata yang sangat rumit bagiku. Aku tak mampu mengucapkan aku mengasihimu bagi istriku sendiri.

Suatu saat dokter datang ke ruangan aku, ia melihat data riwayat kesehatanku. Ia berkata bahwa sisa hidupku tinggal beberapa hari saja, dan tidak ada lagi harapan untuk hidup. Dokter pun tidak yakin mengenai kesadaranku sekarang. Ia berkata bahwa aku sebenarnya sudah meninggal. Hanya detak jantung dan nafasku yang tersisa dan semuanya itu akan hilang dan aku akan lenyap dari bumi. Ia berkata kepada istriku dengan jelas. Namun aku mendengarnya. Aku ingin menjerit. “ Hey, aku masih hidup! Aku ingin hidup!”. Namun sayangnya istriku yakin dengan perkataan dokter, ia menangis. Aku mendengar jelas seduannya. Aku mendengar jelas kepiluan hatinya. Aku tahu betul istriku. Namun apa daya aku hanya bisa mendengarnya.

Sejak saat itu, istriku memeluk erat ragaku. Mencium keningku, dan mengucapkan kata yang tak biasa kudengar, dan sangat sakit untuk ku dengar dan lebih sakit dari segalanya. Ia berkata di depan telingaku, “ Selamat tinggal sayang…”. Kemudian ia membelai kepalaku dengan jemarinya yang basah, dan aku tau itu air matanya. Aku pun sangat tersentak ketika aku mendengar langkah kaki istriku menjauh dari ruanganku dan tidak terdengar lagi.

Ketika semuanya pergi, rasa sama seperti malam petaka itu datang lagi. Jiwa dan pikiranku bergejolak, menjerit kepada ragaku. Hey, Bangunlah kau raga! Namun tetap saja aku masih berbaring dan tak berdaya.

Semuanya pun berlalu dan memudar kembali. Layaknya jejak kaki terseret pasir dan terhapus. Sekarang aku tidak bisa membedakan mana hidup dan mati. Seluruh perasaan dan luapan emosi telah kacau. Aku tidak tahu harus berfikir apa lagi. Aku telah mengusahakan setidaknya pikiranku untuk bangun. Namun aku tahu itu semua sia-sia. Pada saat seperti ini, aku merasa tidak ada lagi yang peduli kepadaku, bhkan aku tidak peduli lagi. Untuk memastikan kehidupanku, aku hanya mendengarkan detak jantungku dan mencoba konsentrasi untuk mempertahankannya. Aku merasa seluruh dunia memojokanku. Disaat seperti ini aku sadar. Aku lemah. Aku sombong sebelumnya. Aku manusia yang bodoh. Namun entah mengapa kata-kata istriku selalu mengingatkan ku untuk bertahan. Aku pun bertahan.

Sekarang aku tidak peduli dengan hari, minggu, bahkan bulan. Mungkin sesekali istriku datang menjengukku, namun ia hanya melihat dan membawa rekanya dan bercerita asyik dengan mereka, tanpa memperdulikan aku lagi. Hal ini merupakan hal yang paling berat dan menyakitkan bagiku, yakni untuk menerima keadaan ini. Menerima bahwa orang terdekatku harus aku biarkan mejauh dan menghilang perlahan-lahan. Sejak perkataan dokter, istriku menjadi jarang menjengukku.

Aku yakin, suatu saat pasti aku bisa berkata atau bahkan benar benar sadar dan mengatakan yang sebenarnya kepada istriku. Aku yakin, aku pasti bisa melakukannya. Aku tidak akan selalu seperti ini. Aku harus sembuh. Aku harus bangun dari tempat tidurku sekarang.

Suatu sore, aku seperti biasanya berbaring tak berdaya disini. Istriku datang menjengukku. Ia seorang diri. Namun, jenguk kali ini berbeda dengan sebelumnya. Ia duduk disampingku, Ia memegang tangan kananku. Aku merasakan hal yang seperti dulu lagi. Aku merasakan aura yang berbeda dengan kehadiran istriku. Dan itu benar ia mengatakan kembali, “Aku mengasihimu sayang, maafkan aku selama ini tak memperdulikanmu..”. Kata-kata itu membuat semua luapan emosi selama ini sedikit luruh dan hal ini membuat aku ingin menangis dan memeluknya. Tiba-tiba hal yang luar biasa bagiku mulai terjadi. Aku menangis. Aku benar-benar menangis. Hal ini mengejutkan istriku, aku sadar dengan hal ini. Aku meneteskan air mata di saat itu. Dengan segera istriku bangun, dan dengan segera ia mengusap air mataku dan berbisik,”Aku tahu kau masih hidup…”. Kata-kata itu menjadi pembangkit semangatku yang baru setelah sekian lama ia tak acuh terhadapku.

Beberapa menit kemudian dokter dan perawat berdatangan ke hadapanku. Mereka mengecek seluruh tubuhku. Itu menyakitkan bagiku. Mereka berkata kepada istriku, baru-baru saja tubuhku mengalami perubahan yang cukup drastis. Aku mengalami perkembangan menuju sembuh. Aku tahu istriku pasti gembira karna itu.

Seminggu telah berlalu, sekarang aku sudah mampu menggerakan jemari ku. Dokter melihat dengan terkagum dengan perkembanganku. Istriku semakin sering menjengukku sekarang, sering kali ia menangis disampingku. Ia berdoa setiap malamnya untuk kesembuhanku. Ia memotivasiku setiap hari lagi. Untukku hal ini bukanlah karna aku, namun karna Tuhan dan istriku yang luar biasa berjuang untuk kesembuhanku. Aku merasa ada sebuah dorongan yang sangat kuat dibelakangku yang berkagta terus berjuang dan jangan pernah menyerah.

Mungkin sebelumnya aku tidak pernah menyangka aku akan seperti ini. Sebelumnya aku menganggap aku adalah manusia terkuat. Namun sejak penyakit itu menyeretku kedalam dunia yang sangat suram ini, aku belajar satu hal, aku tidak akan menyia-nyiakan sekelilingku. Mungkin aku sombong, mungkin aku kejam terhadap sesama di masa lampau. Namun satu hal, aku belajar dari istriku, jangan pernah melihat kebelakang, mari kita berubah, dan terus menjadi lebih baik.

Sebulan sudah, aku menjalani hidupku dengan perkembangan yang perlahan di rumah sakit ini. Sekarang aku sudah bisa membuka mataku dan berbicara sedikit demi sedikit. Sekarang aku sudah dapat beradu seringai dengan istriku. Aku dapat membaca senyuman istriku, aku dapat melihat kecantikannya dengan jelas walaupun tanpa bahasa bibir. Aku cukup bahagia dengan apa yang ada sekarang. Ia tetap setia menjagaku sekarang, ia sering bersenandung indah didepanku, atau bahkan berguyon bersamaku.

Aku pun diperkirakan seminggu dapat pulang. Aku sangat bersemangat dengan hal ini. Aku menantikan setiap detiknya di ranjangku sekarang. Aku menahan seluruh rasa sakit dan kepedihan baik jiwaku maupun ragaku. Aku menahanya demi istriku. Aku harus mengatakannya, dan aku harus bisa membalas kasihnya.

Seminggu telah berlalu, aku pun diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Namun dokter berkata, kondisiku masih sangat labil untuk menjalani kehidupan normal. Walaupun aku masih duduk dikursi rodaku sekarang aku yakin aku bisa pulih.

Aku sekarang berada di rumahku. Aku senang kembali seperti dahulu. Walaupun aku divonis tidak akan dapat berjalan lagi dengan kakiku, paling tidak aku bisa berbicara sekarang dengan bahasa yang luar biasa kuasanya bagiku. Sekarang istriku selalu menemaniku. Tidak ada lagi infuse yang selalu menghalangi nafasku. Tidak adalagi suntikan yang menyakitkan. Dan tidak ada lagi emosi yang tidak terluapkan. Aku terpenuhi sekarang. Aku senang dengan hidupku. Walau tidak sesempurna dahulu, aku bersyukur dengan penyakitku. Aku bersyukur aku dapat melewati masa sulitku. Aku bersyukur aku dapat memahami seberapa cinta kasih istriku sekarang kepadaku. Aku dapat mengerti seberapa mahalnya waktu ku sekarang ini.

Sekarang aku bekerja dari tempat ke tempat. Aku bekerja tidak diatas kakiku, namun kursi rodaku. Aku tidak bekerja dengan tangan lemahku, tapi aku bekerja dengan mulutku. Mulut yang telah diasah melalui penyakit yang mnyakitkan. Aku sekarang banyak berbicara dan mengisi seminar-seminar bagi banyak orang. Mereka yang butuh motivasi, layaknya aku membutuhkan motivasi dari istriku dimasa lampau. Aku gembira dengan pekerjaanku. Aku menikmatinya.

Satu hal aku ingin menyampaikan kepada banyak orang. Kekuatan motivasi mengalahkan segalanya. Kata-kata motivasi bagaikan pedang yang dapat menembus segala persoalan kita. Yang harus kita lakukan adalah terus bertekun dalam keadaan kita, tidak mengeluh, dan tetap percaya kepada target kita masing-masing, walaupun keadaan terlihat tak ada harapan. Semoga bermanfaat.