Rabu, 29 Juli 2009

Sejarah dan Perkembangan Bahasa Indonesia

Sebagaimana Anda ketahui, bahasa Indonesia yang sekarang ini berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan yang ditempuh oleh bahasa Indonesia tak terpisahkan dengan perjalanan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia untuk merdeka. Sejalan dengan hal tersebut, sejarah perkembangan bahasa Indonesia dapat ditinjau dari masa sebelum Indonesia merdeka dan masa sesudah merdeka.

Peristiwa bersejarah yang monumental bagi bangsa dan bahasa Indonesia adalah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Ikrar Sumpah Pemuda itu terdiri atas tiga butir yang berbunyi sebagai berikut

Pertama :

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kedua :

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Ketiga:

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Bahasa Melayu adalah Cikal Bakal Bahasa Indonesia

Nama “bahasa Indonesia” baru dikenal sejak 28 Oktober 1928, yang sebelumnya bernama “bahasa Melayu.” Bahasa Melayulah yang mendasari bahasa Indonesia yang kemudian diangkat menjadi bahasa persatuan. Masalah yang menarik perhatian para ahli sosiologi bahasa adalah kondisi apa yang memungkinkan bahasa Melayu dipilih dan disepakati untuk diangkat menjadi bahasa nasional. Dan, mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda yang jumlah penuturnya lebih banyak daripada bahasa Melayu.


Berikut ini dikemukakan beberapa alasan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.

1. Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita. Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah lainnya.

2. Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan yang melampaui batas-batas wilayah bahasa lain meskipun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun bahasa daerah lainnya.

3. Bahasa Melayu .masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.

4. Bahasa Melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa.

5. Bahasa Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur yang berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan tidak rnenimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah.


Sesudah, diikrarkan Sumpah Pemuda, terutama yang berkaitan dengan ikrar ketiga, St. Takdir Alisjahbana menjelaskan secara luas apa yang disebut bahasa Indonesia. Dia menyatakan, “bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan setelah bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”.
Sejalan dengan pendapat di atas, H.B. Yassin menyatakan bahwa Sumpah Pemuda adalah suatu manifesto politik yang juga mengenai bahasa. Penamaan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia tidak berdasarkan perbedaan dalam struktur dan perbendaharaan bahasa pada masa itu, tetapi semata-mata dasar politik. Dalam bahasa tidak terjadi perubahan apa-apa, tetapi hanya berganti nama sebagai pernyataan suatu cita-cita kenegaraan, yaitu kesatuan, tanah air, bangsa dan bahasa.
Perlu Anda ketahui bahwa pada zaman penjajahan Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua, di samping bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan Rakyat. Sayangnya, anggota bumiputra tidak banyak yang memanfaatkannya.

Kongres Bahasa Indonesia

Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hasil keputusan yang penting, yaitu bahasa Indonesia diusulkan menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan.
Demikianlah “lahir”nya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsyafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Dan, api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka, yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah Jepang.

Pada tahun 1954 diadakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Dalam Kongres itu ditegaskan bahwa politik bahasa harus mengatur kedudukan dan hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Selain itu, politik bahasa harus membangkitkan rasa setia dan bangga akan bahasa Indonesia. Pernyataan kedua ini menyiratkan bahwa rasa setia dan bangga akan bahasa nasional belum tampak dalam perilaku berbahasa Indonesia. Mungkin sekali masih banyak orang Indonesia yang suka berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 1975 di Jakarta diadakan Seminar Politik Bahasa Nasional. Politik bahasa nasional adalah kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengolahan keseluruhan kebahasaan. Dalam seminar itu diputuskan ihwal kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, misalnya bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa-bahasa daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional, yang dilindungi oleh negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 36 Bab XV, UUD 1945 (sebelum amandemen), yang berbunyi:

Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah. Adapun dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di SD di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya, dan (c) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah
.Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Jepang, dan Cina berkedudukan sebagai bahasa asing. Kedudukan ini didasarkan atas kenyataan bahwa bahasa asing tertentu itu diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan pada tingkat tertentu. Di dalam kedudukan yang demikian, bahasa-bahasa asing itu tidak bersaingan, baik dengan bahasa Indonesia maupun dengan bahasa daerah. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Jepang dan Cina berfungsi sebagai alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional.

Pada tahun 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta

Kongres tersebut dilaksanakan dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-50. Kongres itu bertujuan memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia baik sebagai bahasa nasional sesuai dengan isi dan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maupun sebagai bahasa negara, sesuai dengan Bab XV, Pasal 36, UUD 1945 (sebelum amandemen) Keputusan dan kesimpulan kongres itu menyangkut kepentingan segenap lapisan masyarakat. Masalah bahasa adalah masalah nasional.
Sementara itu, pada tahun (1983) di Jakarta diadakan Kongres Bahasa Indonesia IV. Dalam kesimpulan umum dikatakan bahwa fungsi bahasa Indonesia makin mantap, baik sebagai alat komunikasi sosial administratif maupun sebagai alat komunikasi ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dan, sebagai alat penyebarluasan ilmu, bahasa Indonesia telah dapat pula menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini terbukti dengan makin banyaknya buku-buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.


Kongres Bahasa Indonesia V diadakan pada tahun 1988 di Jakarta.
Kongres itu menghasilkan sejumlah putusan yang meliputi bidang bahasa, pengajaran bahasa, dan pengajaran sastra. Dalam simpulan umum dinyatakan bahwa kedudukan bahasa Indonesia makin mantap, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara. Meskipun demikian, pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar masih perlu ditingkatkan. Sebagai tindak lanjutnya, perlu diperhatikan dan dilaksanakan hal-hal berikut ini.

Para pejabat diimbau berbahasa Indonesia ‘ Secara baik dan benar karena mereka menjadi anutan masyarakat. Para peneliti hendaklah membiasakan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah secara logis, lugas, cermat, dan tepat.Dalam menyampaikan pesan tentang konsep-konsep pembangunan kepada masyarakat hendaknya digunakan bahasa yang akrab dan sederhana sesuai dengan daya tangkap masyarakat. Penggunaan bahasa asing pada papan-papan nama gedung umum,hendaknya diganti dengan bahasa Indonesia. Pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah dan modern masih perlu menyerap kata-kata baru, baik yang berasal dari bahasa serumpun maupun dari bahasa asing, sesuai dengan keperluan. Oleh sebab itu, penutur bahasa Indonesia diimbau tidak bersikap nasionalisme sempit yang
berlebihan. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia, yang meliputi kebanggaan dan kesetiaan pada bahasa Indonesia serta kesadaran akan kaidah bahasa perludipupuk terus.

Bahasa Indonesia VI diadakan pada tahun 1998 di Jakarta.

Kongres dengan tema “Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000″ itu bertujuan memantapkan peran bahasa Indonesia sebagai sarana pembangunan bangsa, sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana pembinaan kehidupan bangsa. Adapun subtemanya adalah (1) Bahasa Indonesia Merupakan Sarana yang Kukuh dalam Pembangunan Bangsa, (2) Peningkatan Mutu Bahasa Indonesia Memperlancar Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan (3) Peningkatan Kemampuan Masyarakat Berbahasa Indonesia Memperkaya Kehidupan Budaya Bangsa.
Sebagaimana Anda ketahui, jaringan masalah kebahasaan di Indonesia memang sangat kompleks. Hal itu disebabkan oleh adanya persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah, juga adanya persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing, ditambah pula datangnya berbagai tuntutan agar hanya didasarkan pada eksistensi bahasa Indonesia sebagai sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor nonkebahasaan seperti politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan.

Kedudukan Bahasa Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang


Pada tahun 1942 Jeparig menduduki Indonesia. Dalam keadaan tiba-tiba, Jepang tidak dapat memakai bahasa lain, selain bahasa Indonesia untuk berhubungan dengan rakyat Indonesia. Bahasa Belanda jatuh dari kedudukannya sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang digunakan. Sebenarnya Jepang mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud membuat bahasa Jepang menjadi bahasa resmi di Indonesia sebagai pengganti bahasa Belanda. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat seperti waktu dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang memilih jalan yang praktis, yaitu memakai bahasa Indonesia yang sudah tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Perlu Anda catat bahwa selama zaman pendudukan Jepang 1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan.
Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari berorientasi terhadap bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memakai bahasa Indonesia.
Waktu Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua peristiwa tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional identik dengan bahasa persatuan yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan semangat kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara secara formal belum terwujud. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus seiring dengan sejarah bangsa pemiliknya.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


Yang dimaksud dengan kedudukan adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial bahasa yang bersangkutan. Sedangkan fungsi adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu dalam kedudukan yang diberikan kepadanya.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki sejak diresmikan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebangsaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa yang latar belakang sosial budaya dan bahasanya berbeda, dan (4) alatperhubungan antardaerah dan antarbudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar