Senin, 09 Maret 2009

Cerpen : Unwanted Pregnancy

Unwanted Pregnancy
Oleh : Ariani Selviana

Surat hasil pemeriksaan dari laboratorium masih berselimut envelop. Rasa gundah menyergap manakala memandangi wajah petugas yang tersenyum sumringah. Jantungku berdegup kencang menduga-duga makna di balik senyuman itu.
“ Anak keberapa bu ?”
Kutercekat , tangan dan bibirku mendingin . Kepala terasa berputar, pandangan mengabur dan tubuhku limbung. Di batas nadir , tubuhku terasa dibopong oleh beberapa orang ke sebuah ruangan. Setelah itu dunia menjadi sunyi senyap dan gelap.
“ Bu…..Bu…sudah sadar ya ?” Lengan kiriku diguncang. Kepadaku diasongkan segelas air putih. Beberapa teguk segera membasahi tenggorokan.
“ Boleh kami tahu nama suami dan telepon yang bisa dihubungi? “
“ Tidak perlu, Suster. Saya sudah sehat dan bisa pulang sendiri.”
Berhasil kuyakinkan suster itu mempersilahkanku untuk istirahat sejenak . Setelah cukup kuat aku bergegas pergi.
Mungkin pembaca menduga kalau kehamilanku adalah hasil dari hubungan terlarang. Dugaan itu salah. Aku wanita bersuami beranak tiga. Jadi ini kali adalah kehamilan keempatku.
Aku wanita yang cukup kuat, tidak pernah mual, pusing apalagi muntah-muntah saat masa kehamilan . Yang terjadi padaku di poliklinik itu karena kehamilan ini tak terduga.
Pikiranku dikecamuk oleh rasa malu, kuatir dan marah . Bagaimana tidak? Anak pertamaku Lita sudah lulus SMA dan sudah bekerja sebagai seorang kasir di toko kelontong, Anak keduaku Sonny hanya sempat menikmati bangku SMA satu tahun saja . Dia terseret pergaulan dengan teman-temannya. Berhari-hari dia tidak pulang. Kadang kalaupun pulang dia hanya tidur sepanjang hari. Bila ditegur dia marah-marah dan akhirnya pergi dari rumah lagi. Aku hanya mendengar kabar bahwa dia sering kelihatan mengamen di Kopaja atau PPD. Baron , anak ketiga duduk di kelas 6 SD. Perawakannya kecil dan pendiam. Senyum jarang menghiasi wajahnya. Tanpa bantuan seorang psikolog pun aku bisa mengindikasikan apa yang terjadi padanya. Anak inilah yang sering menjadi saksi perseteruanku dengan bapaknya, Andi .
Aku benar-benar tidak tahan lagi menghadapi , Andi. Bahtera rumah tangga yang telah aku arungi bersamanya telah mencapai usia 18 tahun . Sikap pemalas dan pemimpinya belum juga berubah. Saat di awal pernikahan kami, aku merasa optimis bahwa seiring dengan hadirnya anak-anak pastilah naluri dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga akan muncul. Ternyata tidak! Aku terlalu berspekulasi untuk hal ini.
Sejak berpacaran, Andi memang sudah menunjukkan ‘masa depannya’. Teman-teman menyayangkan hubunganku dengannya. Aku tetap bersikeras menjalin cinta dengannya .Selain cintaku padanya, aku percaya bahwa manusia bisa berubah manakala didampingi orang yang terus memberi kesempatan dan memotivasinya. Dengan begitu optimis , aku merasa bahwa akulah orang yang bisa melakukannya.
Andi selalu membuatku tersanjung dengan caranya menunjukkan rasa cinta . Masa-masa sekolah yang kulalui bersamanya terasa indah. Setelah kami lulus kuliah, perjalinan cinta itu terus berlanjut. Sementara aku sudah bekerja, Andi masih menyelesaikan kuliahnya yang sempat tertunda. Sebagai seorang kekasih aku terus memotivasinya dan akhirnya dia berhasil menamatkan strata satu.
Melihat kedekatan kami, Orang tuaku meminta untuk meresmikan hubungan kami ke jenjang pernikahan. Aku dan Andi menikah dengan biaya pesta sepenuhnya ditanggung oleh orang tuaku.
Andi pandai memanjakan istri. Ada saja caranya membuat aku selalu merindukan saat-saat bersama. Enam bulan kemudian aku hamil anak pertama. Saat kehamilanku memasuki bulan ketujuh , Andi berhenti bekerja. Tidak jelas alasannya namun dia mengatakan bahwa temannya mengajak berbisnis dan dia ingin lebih berkonsetrasi. Aku menyetujuinya.
Hingga anak kami lahir. Yang kedua dan ketiga , Andi tidak pernah menjadi pegawai lagi. Dia hanya menjadi broker ‘ini dan ‘itu’. Dari sinilah sumber semua malapetaka itu muncul.
Aku mulai meragukan dan menyesali keputusanku memilihnya. Tidak ada hal yang membanggakan darinya selain kepiawaiannya menyanjungku. Kecerdasasnnya terbatas, kemalasannya luar biasa dan kreativitasnya nihil. Aku menyesali keputusanku. Aku tidak percaya bahwa cinta tak bisa lekang oleh waktu.
Ketidakmampuan Andi menjadi tiang keluarga apalagi menjadi teladan dan imam benar-benar menghempaskan harga diriku. Aku tidak percaya diri bila bertemu dengan kerabat dan teman-teman semasa sekolah dulu. Tak ada hal yang bisa kubanggakan. Secara materi dan prestasi aku sangat terpuruk .
Kekecewaanku padanya terus menebal setiap hari. Sikapnya bagaikan virus kanker yang terus menggerogoti stamina cintaku. Untuk menyadarkannnya ,kata-kata ironis sampai kata-kata sarkasme kualamatkan. Tapi tak berkhasiat. Jauh di lubuk hatiku , aku pun menyadari bahwa Andi pun tidak ingin kondisi seperti ini tapi toleransiku benar-benar sudah terkikis . Aku begitu murka melihatnya tak berkutik ketika Sonny harus berhenti sekolah karena uang SPP yang menunggak satu semester. Yang paling menyakitkan manakala dia menghilang berbulan-bulan saat aku melahirkan Baron. Alasannya, berikhtiar mencari uang untuk menebus kami dari rumah bersalin . Toh ketika dia kembali tetap dengan tangan kosong. Orang tuaku menebus kami dari rumah sakit namun aku harus menutup telinga karena mereka terus mengumpati Andi. .
Tak ada hari-hari yang kami lalui tanpa adu mulut. Anakku , Lita memilih tinggal di tempat kos dan Sonny lebih betah tinggal bersama teman-temannya entah dimana. Belum lagi masalah selesai kini muncul masalah baru. Aku hamil anak keempat.
Rasa malu dan kesal serta marah menyergapku. Mau dimana kusimpan mukaku ini?
Aku tak kuasa menanggung semua beban ini.
Keesokan harinya . Tetanggaku , Mimin memberikan sebuah alamat klinik keluarga. Mimim memang sering menjadi ‘tong sampahku’ . Letak rumah kami berhadapan. Jadi , aku sering menyeberang ke rumahnya untuk ‘ curhat’ usai perang dengan Andi. Bahkan untuk masalah apapun aku sering berkeluh kesah padanya. Termasuk ‘unwanted pregnancy’ ini.
“ Elu coba deh…kagak mahal kok! Boleh dicicil , tinggal ngomong aja.”
Mimin adalah vokalis orkes melayu yang sering diundang ke perhelatan-perhelatan kampung.
Penampilannya menarik walau sedikit menor. Aksinya goyangnya memikat para lelaki hidung belang sehingga menyeretnya menjadi pemuas nafsu mereka. Para tetangga sering mencibir kepadanya. Namun demikian aku tak enggan berteman dengannya.
“ Elu kagak malu temenan ama gue ?”
Aku menggeleng, “ Mengapa harus malu ?”
Mimin memang salah jalan tetapi manusia tidak berhak menghakiminya.
Sesekali Mimin tergelincir dalam kasus aborsi akibat melayani para penggilanya sehingga wajarlah dia menjadi pelanggan klinik keluarga itu.
“ Lokasinya dimana ?”
“ Gue nater deh. Kapan ‘lu mau?”
Kami melakukan kesepakatan.
Mengenai kehamilan ini tak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Mimin dan petugas poliklinik tempat kupingsan tempo hari. . Jadi tak satupun yang akan tahu aku melakukan aborsi. Niatku sudah bulat untuk menggagalkan kehamilan ini.

Di Klinik Keluarga
Sebuah rumah tinggal tanpa papan nama klinik. Ruang tamu diset sebagai ruang tunggu pasien.
“ Ini klinik atau rumah ?” Bisikku pada Mimin.
Belum sempat dia menjawab , seorang wanita gemuk setengah baya menghampiri Mimin. Mereka nampak akrab. Wanita itu mengelus-elus perut Mimin. Tapi kemudian , dia membisikkan sesuatu sambil matanya terus melirik padaku. Pastilah , wanita gemuk itu mengira Mimin akan melakukan aborsi lagi tapi kemudian dia menyampaikan bahwa aklulah yang akan melakukannya.
Tak lama kemudian muncul seorang wanita muda dipapah oleh dua orang. Satu lelaki muda dan satunya lagi perawat. Wajah wanita itu pucat pasi dan sangat lemah. Perawat itu membaringkan di sebuah kursi panjang. Dia memerintahkan sesuatu yang kemudian disambut anggukan kepala sang pemuda.
“ Sama kaya elu tuh .” Suara Mimim mengagetkanku.
“ Bedanya , mereka belum kawin. Biasalah mahasiswa kebelet.”
Hatiku miris sekali. Mereka berdua masih tampak muda sekali mungkin masih mahasiswa tingkat dua. Ya Tuhan! Aku jadi teringat Lita anakku.
Gadis itu menangis gemetar namun pemuda disampingnya hanya diam menunduk.
“ Suster nanya, elu siap gak hari ini ?”
Tiba-tiba rasa ragu menyergapku. Betapa nistanya aku melimpahkan kekesalan dan kemarahan kepada janin tak berdosa yang kini bersemayam di rahimku.
“ Mimin…aku gak siap kalau hari ini. Nanti deh aku datang sendiri ke sini. “
“ Ya udah, yang penting orang sini udah tahu elu.”
Kemudian kami berdua meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Sesekali Mimin bertanya dan kujawab tak berselera. Hatiku begitu berkecamuk , sebagai seorang yang taat aku telah menolak kehendak Tuhan atas hidupku. Kehidupan dan kematian adalah otoritas sang Pencipta tetapi kini aku mencoba merampasnya. Kini Tuhan menitipkan kembali amanat itu dalam rahimku tentu karena ada sebuah rencana atasnya. Aku mengelus lembut perutku seraya berdoa dalam hati meminta maaf. Selalu ada mukjizat untuk orang yang percaya. Aku akan terus berharap itu terjadi.
Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar