Senin, 09 Maret 2009

Cerpen : Selimut Duka

Selimut Duka
Oleh : Ariani Selviana

Matanya terpejam tenang sekali. Kutepuk perlahan pipi tirus , tidak ada lagi sambutan. Aliran darah deras menghangati wajah dan segera dadaku merasa sesak oleh rasa kehilangan. Sekonyong-konyong aku terisak , “ Bapak…..Pak…Pak ..”
Sadar akan sesuatu yang terjadi, Warlan segera menghentikan laju mobil. Ibu yang sedari tadi asyik mengoleskan minya kayu putih ke dada bapak, terpaku .
“ Mengapa berhenti ? Jalan. Jalan terus!!”
Warlan tak bergeming. Dia menelungkupkan wajahnya sejenak di atas kemudi. Namun dia ikuti juga apa yang diperintahkan ibu kepadanya.
Ibu memaksa adikku bergerak cepat menembus kemacetan. Minyak kayu putih terus dioleskan ke dada bapak sambil terus berusaha mengajaknya bicara.
Kuusap lembut rambut ikal ibu “ Kita pulang saja. Bapak perlu istrirahat.” Ibu menolak. Kuraih tangannya yang basah , kuantarkan pada kening Bapak.
“ Bapak bilang begitu ,Bu.” Sejenak kemudian tangisnya pecah.
“Kamu biarkan Bapak pergi.” Dia mencubit lenganku. Tak terasa sakit sebab ada yang lebih sakit daripada itu. Hatiku. Adikku menghentikan laju mobil. Dia kembali memastikan tentang ‘kepergian’ itu. Tak ada yang menjawab semua bersimbah airmata.
“ Dik , Kita pulang .”
Dia menangis memeluk kemudi. Tangis itu begitu lepas. Belum pernah dia menangis sepilu itu. Hatiku semakin pedih tapi kuberanikan diri mengambil alih kemudi. Naluriku sebagai kakak tertua membisiki bahwa aku harus tegar.
Dadaku terasa sesak oleh emosi yang tertahan. Genangan air di mataku memburamkan jalan. Aku yang ‘cengeng’ sekuat tenaga menahan bendungan duka itu.
Sesampai di rumah , adikku Warlan meminta pertolongan tetangga untuk membopong jasad bapak ke kamar. Saat mereka mengusung tubuh itu, hatiku semakinn tersayat. Bapak benar-benar sudah pergi. Tak ada respon sama sekali hanya tangannyanya yang menggelambir kesana kemari tak bertenaga. Dia dibaringkan di atas ranjang yang selama sakit sangat dibencinya. Dokter keluarga memastikan kepergian bapak dengan memberiku ‘surat kematian’. Tanganku gemetar menerimanya. Kepedihan yang sedari tadi kubendung pecah bagaikan aliran sungai deras membobol tanggul.
Kupeluk tubuh ringkih bapak- yang kepadanya sering kusandarkan kegelisahan- kesadaranku terbuka penuh bahwa dia memang sudah mati. Mati ! Dia tak lagi membalas pelukku. Kuciumi pipinya yang mulai mendingin. Tak akan pernah senyum lebar terkembang di sana. Senyum yang senantiasa memecut semangat dan meyakinikanku bahwa dunia ini harus ditaklukan. Berjam-jam aku berdua bersama bapak. Ibu membiarkan begitu sekalipun dia ingin . Aku memang memiliki kedekatan kepada bapak.
“ Ayo tidur . Bapak pasti datang sebentar lagi.” Begitu saran ibu saat aku bertarung dengan kantuk untuk menunggu bapak pulang. Tentu Ibu kuatir , anak sekolah dasar sepertiku masih terjaga di tengah malam. Tapi akhirnya ibu mengalah karena ‘hal itu’ memang tak bisa kulakukan.
Orang banyak menyatakan bahwa aku duplikat bapak. Tidak mengherankan karena selama aku berada di dalam kandungan Ibuku. Ibu begitu membencinya. Entah mengapa begitu. “Bawaan Orok” begitu istilahnya . Apa yang dicita-citakan bapak terhadapku menjadi kenyataan. Sekalipun sebagai orang batak yang biasanya sangat mendambakan anak lelaki , tetapi tidak dengan bapakku. Aku diimpikannya lahir sebagai anak perempuan.
Saat kulahir ke dunia. Bapak menamaiku dengan sebuah nama yang memprasastai perjalanan kisah cinta mereka yang penuh liku. Ibuku yang berasal dari suku dan keyakinan berbeda sangat menggundahkan keluar besar bapak. Tapi dia telah dikalahkan oleh cinta. Bukan terbutakan tetapi lebih pada kesadaran bahwa takdir lahir-jodoh-mati sudah digariskan Tuhan. Bapak berprinsip bahwa semua kisah yang menjadi bagian hidupnya adalah perintah yang harus dijalani sekalipun semua orang menentang. Baginya tidak ada satupun yang patut mendapat kepatuhan itu selain ‘Dia’.
Kekokohan itu berbuah, ketika tangis pertamaku menyapa dunia. Gunung es di hati kakek pun mencair. Dia datang dan menginjak tanah Jawa pertama kali seumur hidupnya untuk menyapaku.
Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Dua petugas medis datang hendak menyuntikan formalin. Karena tidak tega .Aku keluar.
Di ruang tamu , Pak Salomo sudah duduk . Dia ketua majelis gereja tempat bapak dan ibu berbakti. Beberapa menit kemudian sahabat-sahabat bapak bermunculan. Selama hidupnya bapak memang punya banyak sahabat. Padahal dia dikenal sebagai orang yang ‘tegas’ . Prinsip hidupnya adalah menyatakan kebenaran sekalipun ‘menyakiti’ orang. “ Yang baik tidak selalu benar. Tetapi menyatakan yang benar pastilah mendatangkan kebaikan.” Kata-katanya itu yang selalu melekat dalam benakku. Dia tidak pernah peduli ‘dimusuhi’. Apa yang harus dinyatakan tetaplah berlaku. Tetapi ‘kebenaran’ itu memang terbukti sekalipun waktulah yang mengujinya.
Pada upacara penghiburan, beberapa sahabat memberikan testimoni betapa bapakku telah membukakan ‘mata’ mereka. ‘Penyesalan dan pengakuan yang tak sempat terujar itu’ dikirimkan melalui ibu.
Satu per satu upacara adapt melepas jenazah dilaksanakan. Wajah ibuku sudah nampak letih. Air matanya sudah kering tetapi tidak dengan hatinya. Ibu memang lebih ringan sekarang karena ketelatenan dan kesabarannya merawat bapak telah berujung. Dia mengambil sebotol ‘minyak kayu putih ’ yang selalu ‘akrab’ dalam genggamannya saat bapak masih sakit. Dibasahi ujung jemari dan disapukan pada bagian yang sering dikeluhkan nyeri oleh bapak. Mulutnya berkomat-kamit. Sebentar-sebentar dibenahi ‘ulos’ kabung yang menudungi kepalanya. Sebuah kidung yang menjadi ‘kegemaran bapak‘ disenandungkannya perlahan.
Paman dan bibiku dari seberang berdatangan. Rumah menjadi sesak. Para ibu tetangga membantu memasak .Tradisi kita memang tidak lepas dari tata krama .Sekalipun dalam kedukaan, menjamu tamu adalah suatu keharusan yang sudah membudaya. Aku yang menjadi delegasi ibu untuk menangani semua itu menjadi mengerti bahwa , “dibalik kemalangan pastilah ada hikmat tersembunyi” Aku memetik semua itu. Dari catatan kumal ibu kutemukan daftar beberapa nama yang dapat membantu menyediakan lauk-pauk khas untuk keperluan upacara adat. Saat kubuka ‘kitcheb set’ , piranti makan lengkap tersedia dalam jumlah besar sehingga tidak merepotkan untuk meminjam ke kanan kiri. Kebiasaan ibu membeli perabot –yang senantiasa kuprotes karena merupakan pemborosan – sangat berguna. Ibu memang cepat beradaptasi sebagai pendatang di keluarga bapak. Baginya , pantang tamu keluar dari pintu rumah dalam keadaan perut kosong. Meskipun hanya dengan telur ‘ceplok’ dan sayur bening tak apalah.
Jenazah bapak sudah harus dikebumikan . Aku mendapat tugas mencari peti mati. Aku dan adik lelakiku meluncur ke sebuah rumah duka . Aneka peti mati tersedia di sana. Mulai dari yang berkelas yang terbuat dari kayu kualitas terbaik yang diamplas halus dan bercat semprot hitam coklat elegan , berlapis draperi sutra halus di bagian dalam. Bagian penutup dilapisi kaca tebal yang bergravir ayat-ayat suci. Sebuah peti mati bak ‘ karya seni’ yang hanya menjadi santapan sia-sia cacing dan rayap di dalam tanah. Peti yang menjadi lambang penghormatan- atau mungkin juga gengsi - sang ahli waris tetapi tidak untuk penghuni di dalamnya.
Aku memilih peti mati yang sederhana , selama bapak hidup dia sangat menganut filosofi ini. Di tengah derasnya kemajuan teknologi bapak tetap menggunakan uang ‘cash’ dibandingkan dengan ‘uang plastik’ . Pakaian yang dipakai pun tidak ‘neko-neko’.
“Yang ‘adem’ saja yang model dan warnanya sederhana, ya !” Begitu pesannya bila kutawari hadiah ulang tahun.
Bersalut jas hitam kesayangannya ,bapak tampak damai dalam ‘tidur’. Dia dibaringkan dalam peti mati itu
Bapak pendeta menutup khotbahnya dengan pesan bahwa kematian hanyalah tidur panjang yang tidak perlu dilaruti kesedihan mendalam. Saat peti hendak ditutup seorang kerabat ‘mangandung’ sangat pilu. Dia membelai-belai rambut jasad bapak sambil terus berucap.
“Maafkan aku abang…maafkan aku abang.” Begitu terus sampai kami semua yang hadir terbangkit tangis.

Peti ditutup dan dimasukkan ke dalam mobil jenazah. Bendera kuning dikibarkan oleh seorang polisi bermotor yang memang dibayar oleh keluarga untuk memimpin iring-iringan menuju tempat peristirahatan terakhir.
Prosesi pemakaman berjalan lancar. Semua orang menarik napas lega karena tugas mereka sebagai mahluk sosial bermartabat yang memiliki kewajiban saling asah, asih ,dan asuh. telah usai dilaksanakan. Kami semua meninggalkan bapak sendirian dalam kebisuan.
Tak ada lagi air mata, sepanjang perjalanan pulang kami mengembara dalam rimba pikir masing-masing. Sesekali kepalaku membentur dinding mobil karena kantuk yang sangat.
Hidup yang kami hadapi tidak akan sama lagi. Tapi kenangan tentang ayah akan tetap tinggal.


Medio of November 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar