Sebuah Keputusan
Oleh : Ariani Selviana
Pohon besar di tengah kampus masih berdiri kokoh. Kerindangannya selalu membuatku betah berdiam lama di bawahnya . Dipan panjang terbuat dari besi tempa masih terbujur di samping pangkal pohon yang kokoh itu , warna catnya hitam penuh karat dan terkelupas di sana-sini .
Perlahan kuayun langkah menuju pohon kenangan itu. Meski ragu kududuki juga . Lima tahun yang lalu, tempat ini jadi saksi bisu kemesraanku dengan ‘ Pram’ .
Kami berdua sepakat meluangkan waktu makan siang bersama di bawah pohon beringin itu. Terkadang aku yang harus menunggu, beberapa menit kemudian Pram datang tergopoh-gopoh . Dari rutinitas pertemuan kami , Pramudya yang lebih sering menunggu karena ruang kuliah anak teknik lebih dekat daripada ruang fakultas ekonomi tempatku menggali ilmu. Sebenarnya ada ‘pojokan ‘ yang sama-sama dekat dari ‘markas kami ‘ namun pohon rindang itu tetap jadi pilihan. Pohon itu seolah hidup dan mengamati tingkah kami. Jadi sekalipun harus menunggu , kami tidak merasa sepi.
Beberapa pasang mata penasaran memandangiku. Kehadiranku di tengah kampus mereka menjadi tanda tanya . Di tengah seliweran anak-anak remaja yang segar-bugar , lincah dan berbusana dengan model up to date lalu hadir wanita yang sebaya dengan dosen mereka. Tapi aku tak memedulikannya, toh satpam mengizinkanku karena dia memang masih mengenaliku.
Kurogohkan tangan ke dalam tas coklat ‘Braun Buffel-ku’ . Sebuah buku agenda warna biru tua tebal kuraih. Di sampul bagian dalamnya tergores “ Pram Cinta Rani “ dengan tinta warna biru.
Kubaca helai demi helai kisah yang kami lalui sepanjang lima tahun menempuh pendidikan di kampus tercinta ini. Aku ingin menguji diri, menata kembali emosiku dan menghidupkan rasa cinta terhadap Pram. Setidaknya saat kuambil sebuah keputusan, kuyakini bahwa itu bukan emosi sesaat yang akan kusesali.
“ Pram…kalau saja kamu baca bagian ini ." bisikku lirih.
“ Rani bagiku kau adalah kitab inspirasiku. Hidupku menjadi jelas bersamamu. Jangan pernah beringsut dari hidupku ya. Kalau tidak aku akan hilang.. mati . “
“ Belum lama….belum lama.. Pram” Aku menghapus pipiku yang menghangat.
Pada beberapa halaman berikutnya .
“ Akhirnya kami menikah….TERIMA KASIH TUHAN!!”
Bagian ini pram menghiasinya dengan gambar hati berwarna-warni. Saat kukomentari dia mengatakan,
“ Gambar ini lambang suka citaku. “
Ketika kami memutuskan menikah, pohon ini kembali menjadi saksi bisu. Semacam ada chemistry antara kami dan pohon itu sehingga keputusan penting seperti menikah pun dilakukan di sana.
Satu lagi peristiwa saat aku bingung menentukan satu pilihan dari dua perusahaan yang menerimaku. Setelah berkonsultasi dengan orang tua dan Pram, akhirnya aku lari ke pohon itu untuk berdoa memohon petunjuk. Hatiku mantap dan memilih perusahaan Advertising. Walaupun banyak orang yang menyesalkan karena umur perusahaan periklanan itu masih seumur jagung tetapi aku melihat peluang lain. Ekspetasiku terbukti,dalam kurun waktu 2 tahun karirku meningkat. CEO memercayakan tanggung jawab yang lebih besar karena prestasiku sebagai AE sangat menguntungkan perusahaan. Kalau dari awal perusahaan besar yang aku pilih mungkin peluangku untuk unjuk gigi sangat kecil karena ketatnya persaingan.
Bila saat ini aku kembali bersimpuh , itu karena sebuah keputusan yang juga harus aku ambil bahkan teramat berat karena juga mempertaruhkan kebahagiaan anak semata wayangku, Ivana.
Alasannya karena perubahan prilaku Pram setahun belakangan ini . Dia tidak lagi seperti yang aku kenal dulu. Bukan lagi orang yang penyabar, pendengar yang baik dan penuh perhatian dan berjiwa . Entah siapa yang menyulapnya? Aku tak mau mencari kambing hitam.
Perubahan sikapnya dimulai ketika dia menjabat satu posisi penting di perusahaan sekuritas. Alasan klise yang sering jadi tamengnya adalah rapat dengan klien. Rapat yang berlarut-larut hingga dini hari. Bagiku ini bukan sebuah kelumrahan. Apalagi rapat diadakan di café-café atau pub-pub yang jelas bukan tempat untuk kepentingan bisnis.
“ Bisnis bener itu bukan jam 2 pagi, Pram “
“ Jadi kamu pikir ..aku bukan orang bener? “ Hardiknya .
Pram berapologi bahwa dia banting tulang untuk kemaslahatan keluarga:mencukupi kebutuhanku dan Ivana; untuk investasi dan bla…bla…bla….
Berpuluh-puluh kali alasan itu selalu dipakai dan akhirnya membuatku lelah. Puncaknya ketika kucoba menegurnya lagi dan dia meresponi,
“ Aku Cape Rani…kamu terlalu posesif. Mindset kita semakin berbeda. “ Dengan gaya bigbos , Pram menunjuk-nunjuk kepalanya lalu kepalaku.
“Kamu harus berjuang untuk bisa mengerti pola pikirku jangan terus berkutat dengan laptop-mu. Belajarlah bersyukur karena jerih payahku selama ini kita bisa hidup mapan . Apa yang kamu mau, kusediakan..” ceracau Pram semakin membungkamku.
Kamu benar-benar berubah Pram.
Pram benar-benar telah menyinggung perasaanku. Keputusanku berhenti bekerja dan mengurus Ivana juga atas permintaannya. Tidak kusangka bila akhirnya seperti ini. Bukan keputusan merawat Ivana yang kusesali tapi caranya memandangku membuat jarak yang semakin jelas di antara kami.
Aku memang belum berusaha keras untuk membuat Pram sadar dan berubah . Suatu hal yang akan sia-sia pikirku. Pram sangat nyaman dengan jati dirinya kini. Justru aku yang dianggapnya telah berubah.
Saat kuberkeluh-kesah kepada sahabat-sahabatku,
“ Kayanya Kamu harus kerja deh . “ Dia memberi alasan bahwa kini aku jadi sensitif.
“ Kalau kamu kerja lagi, pergaulanmu akan luas . Jadi kamu gak curigaan kaya gitu!”
“ Kalau aku jadi kamu akan kumanfaatkan suami tajir seperti Pram “
“ Kamu gak tahu bersyukur…”
Komentar-komentar seperti itu yang sering terdengar .
Yang lebih pedas lagi adalah komentar yang satu ini,
“ Perhatian yang kamu minta? Itu klise . Hari gini Perhatian sudah gak laku.”
Aku tidak terlalu menggubris komentar-komentar itu . Bukan karena itu tidak berpihak kepadaku tetapi karena melenceng dari topik sesungguhnya.
Aku semakin mencoba menjaga jarak dengan Pram. Jam berapa pun dia pulang aku tak pedulikan lagi. Bahkan untuk menghindar darinya, aku memilih menemani Ivana tidur . Seminggu, sebulan , dua bulan berlalu , suamiku tidak menyadarinya. Begitu tersesatkah dia di rimba kerja sehingga hal itu tidak mengusiknya. Saat makan pagi pun dia tidak mencoba bertanya. Pram semakin tenggelam . Aku kehilangan jiwanya.
Bukan karena kecemburuan yang menjadi pangkal semua ini. Itu terlalu naïf .
Sesungguhnya aku melihat keserakahan dan kepongahan dalam diri Pram. Baginya menggenggam dunia sangatlah mudah . Aku melihat sosok yang berbeda. Pramudaya dikelilingi aura negatif.
Upaya terakhirku untuk menyadarkan Pram adalah dengan menulis secarik kertas yang aku simpan di atas meja kerjanya. Tiga hari sesudahnya , tidak ada reaksi darinya. Itulah yang akhirnya mendorongku ke tempat ini. Itu sebuah pertanda bahwa semua kegundahan ini harus diakhiri.
Kututup buku kenangan itu dan kuselipkan doa. Aku minta kekuatan untuk sebuah keputusan besar. Mataku terpejam tetapi aku merasakan kehadiran seseorang di samping kiriku. Aku tetap tepekur sekalipun konsenterasiku terganggu. Aroma tubuhnya sangat aku kenal tetapi doa harus kuselesaikan.
Buku dalam pangkuanku diraihnya. Pramudya!
Kubuka mata, dia sudah bersimpuh di hadapanku dan menangis. Tangannya menyelimuti tanganku. Tanpa kata-kata . Hanya air mata dan sesekali isak tangis merembesi buku kenangan kami berdua.
Aku tidak tahan melihatnya.
“Rani……….” Seketika dia memelukku erat.
“ Kamu tetap buku inspirasiku. Tanpamu aku akan mati. “ Pram tercekat.
“ Bagaimana kamu mengira aku di sini ? “
“ Tempat ini milik kita Rani. Aku tahu ,kamu pasti kesini. “
Dia menunjukan sepucuk surat.
“ Apa ini ?” Seraya kubuka surat itu. Pramudya mendapat beasiswa belajar di Kanada.
“ Kita bisa pergi semua. Aku , Kau dan Ivana. 5 Tahun di sana .”
“Bagaimana bisa secepat itu prosesnya ?” Tanyaku heran.
“Surat keputusan beasiswa itu sudah lama kudapat. Tapi aku pikir karirku sangat menjanjikan. Namun saat kubaca suratmu, aku terhenyak bahwa mungkin inilah keputusan terbaik untuk kembali merebut hatimu.”
Pram menggenggam tanganku. Dia menyisipkan surat yang pernah kutulis .
“Jangan pernah tulis surat seperti ini lagi ya .“ Dia melipat kecil surat itu dan menyembunyikannya di dalam genggamanku. Aku membukanya kembali walau dia berusaha mencegahnya,
Pramudya kekasihku,
Maafkan atas surat yang kutulis ini.
Pram…dengan berat hati aku harus pergi dari hidupmu. Bukan karena kamu , mungkin benar perubahan itu terjadi padaku. Hanya satu hal yang ku sadari bahwa telah kehilangan jiwamu. Bagiku, ini sangat penting karena bukan sosok Pramudya yang kucintai sesungguhnya jiwa di dalamnya yang memesonaku.
Maaf Pram…bagiku jiwa itu telah pergi…
Bila tetap di sisimu , artinya aku yang mati. Dan…aku tidak bisa ! Hidup ini harus dihadapi dengan jiwa bila tidak kita akan kehilangan nafas kemanusiaan yang mampu mengasihi, menghargai dan memaknai hidup.
Pram…..percayalah ! Ini sebuah keputusan yang berat. Tapi demi Ivana hidup harus terus berlanjut. Aku akan memberinya jiwa bukan kefanaan dunia agar dia kelak menjadi anak yang berhati mulia.
Sukses dengan impianmu ya!
Yang selalu mencintaimu,
Raningtyas
Senyumku mengembang . Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menyatukan jiwa kami, Aku , pramudya dan buah cinta kami , Ivana.
November,2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar