Selasa, 10 Maret 2009

Handout : Sastra Melayu (Hikayat)

Sastra Melayu

Perkembangan sastra Indonesia merupakan perkembangan dari sastra Melayu ( daerah Riau ). Jadi dengan kata lain para pelopor sastra Indonesia lama pada umumnya berasal dari daerah tersebut dan dari mereka jugalah cikal bakal Sastra Indonesia Modern.
Sastra Melayu atau Kesusastraan Melayu adalah sastra yang hidup dan berkembang di kawasan Melayu. Sastra Melayu mengalami perkembangan dan penciptaan yang saling mempengaruhi antara satu periode dengan periode yang lain. Situasi masyarakat pada zaman sebelum Hindu, zaman Hindu, zaman peralihan dari Hindu ke Islam, dan zaman Islam, berpengaruh kuat pada hasil-hasil karya sastra Melayu. Terjadi hubungan yang erat antara tahap perkembangan, kehadiran genre, dan faktor lain di luar karya sastra.
Sastra Melayu berkembang pesat pada zaman Islam dan sesudahnya, karena tema-tema yang diangkat seputar kehidupan masyarakat Melayu, meskipun beberapa ada pengaruh asing. Sebelum zaman Islam, konteks penceritaannya lebih berorientasi ke wilayah di luar Melayu, yaitu India dengan latar belakang kebudayaan Hindu.
Kehidupan dan perkembangan sastra Melayu dari dulu hingga saat ini masih berlangsung terus. Untuk memudahkan uraian yang berkaitan dengan sastra Melayu maka diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu Sastra Melayu Klasik dan Melayu Modern. Secara garis besar, Sastra Melayu Klasik dimulai dari adanya hasil karya sastra lisan maupun tulis yang sangat terbatas; penulisannya kebanyakan terpusat di kerajaan, vihara, dan pondok-pondok oleh orang-orang tertentu dan dibaca oleh kalangan tertentu. Masyarakat awam hanya menikmati dalam wujud penceritaan atau pertunjukan secara lisan.

Melayu Klasik
Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu.
Kesusastraan Melayu sebelum Islam tidak ada nuansa Islam sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Isi dan bentuk sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk yang terakhir ini (mantra), sering dikenal dengan jampi serapah, sembur, dan seru. Sedangkan bentuk prosa, tampak tertuang dalam wujud cerita rakyat yang berisi cerita-cerita sederhana dan berwujud memorat (legenda alam gaib yang merupakan pengetahuan pribadi seseorang), fantasi yang berhubungan dengan makhluk-makhluk halus, hantu dan jembalang.
Perkembangan kesusastraan Melayu sesudah kedatangan Islam ditandai dengan penggunaan Huruf Arab yang kemudian disebut Tulisan Jawi atau Huruf Jawi, yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah Arab Melayu. Hal ini dikarenakan masyarakat Melayu merasa bahwa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya. Huruf Jawi ini diperkenalkan oleh para pendakwah Islam untuk membaca al-Qur‘an dan menelaah berbagai jenis kitab dari berbagai disiplin ilmu. Perkembangan penulisan ini sangat pesat karena Islam memperbolehkan semua orang untuk menulis dalam berbagai bidang.

Melayu Modern
Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Modern adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu dan di luar daerah Melayu mulai sekitar tahun 1920-an hingga sekarang ini. Pembatasan tahun ini karena setelah tahun 1920-an dunia sastra mengalami perubahan dari sebelumnya. Pada masa sebelum tahun 1920-an karya sastra hanya dibuat oleh orang-orang tertentu, biasanya dari kalangan istana, vihara, atau pondok-pondok pesantren, sedangkan masyarakat kebanyakan hanya bisa menikmati dalam bentuk penceritaan atau pertunjukannya.
Pada tahun 1920-an masyarakat luas mulai bisa menikmati karya sastra yang diterbitkan secara massal. Pihak Belanda melakukan aktivitas pengumpulan berbagai cerita rakyat yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Hasil dari terjemahan tersebut kemudian diproduksi secara massal oleh percetakan Belanda, dalam hal ini Balai Pustaka (sekarang menjadi percetakan negara), sehingga dari sinilah masyarakat luas mulai bisa menikmati karya sastra secara leluasa.
Dampak dari aktivitas tersebut adalah banyaknya pengarang pribumi yang bermunculan dan mulai menulis karya sastra secara individual. Para pengarang di masa ini sering disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka. Hasil-hasil karya sastra yang dihasilkan mulai bervariasi, seperti roman, novel, cerita pendek, dan puisi. Jarang ditemui bentuk-bentuk karya sastra seperti syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Dalam menerbitkan karya-karyanya, penyair pribumi menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa, bahasa Sunda, namun ada juga beberapa sastrawan yang menggunakan bahasa Bali, Batak, dan Madura.

Hikayat
Hikayat berasal dari bahasa Arab hikayah yang berarti kisah, cerita, atau dongeng. Pengertian mengenai hikayat ini bisa ditelusuri dalam tradisi sastra Arab dan Melayu lama. Dalam sastra Melayu lama, hikayat diartikan sebagai cerita rekaan berbentuk prosa panjang berbahasa Melayu, yang menceritakan tentang
kehebatan dan kepahlawanan orang ternama dengan segala kesaktian, keanehan dan karomah yang mereka miliki. Orang ternama tersebut biasanya raja, putera-puteri raja, orang-orang suci dan sebagainya. Hikayat termasuk genre yang cukup populer di masyarakat Melayu dengan jumlah cerita yang cukup banyak. Kemunculan genre ini merupakan kelanjutan dari ceritera pelipur lara yang berkembang dalam tradisi lisan di masyarakat, kemudian diperkaya dan diperindah dengan menambah unsur-unsur asing,
terutama unsur Hindu dan Islam. Dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari, hikayat ini berfungsi sebagai media didaktik (pendidikan) dan hiburan.
Berdasarkan fase historis, hikayat dalam sastra Melayu lama bisa dibagi tiga yaitu:

(1) Hikayat berunsur Hindu
Yang berunsur Hindu berinduk pada dua hikayat utama: Hikayat Sri Rama dan Mahabbhrata.
Dari dua kisah ini, kemudian berkembang kisah atau hikayat lain seperti Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Sri Rama.

Unsur Hindu
Hikayat yang berunsur Hindu merupakan cerita-cerita kepahlawanan yang lahir dari epik-epik India yaitu Ramayana dan Mahabharata. Ramayana berasal dari India, yang aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta. Karya ini dicipta oleh Valmiki untuk menyindir perlakuan kaum Arya terhadap orang-orang kebanyakan di bagian India selatan.
Agak sulit untuk melacak kapan masuknya cerita-cerita ini ke tanah Sumatra. Ada kemungkinan cerita-cerita ini masuk bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Sumatra. Hal ini terbukti dalam Sirat al-Mustaqim yang ditulis oleh Nuruddin al-Raniri pada tahun 1634 Masehi, sementara dalam naskah Hikayat Seri Rama milik Archbishop Laud yang tersimpan di perpustakaan Boldleian tertera angka 1633 Masehi.
Beberapa hikayat Melayu yang mengandung unsur Hindu antara lain:

(2) Hikayat berunsur Hindu-Islam
Hikayat Hikayat yang mengandung unsur Hindu dan Islam merupakan hikayat yang berasal dari tradisi
Hindu, kemudian diubah dengan memasukkan unsur-unsur Islam. Contohnya adalah
Hikayat Si Miskin dan Hikayat Inderaputera.

Unsur Hindu dan Islam
Jenis hikayat yang berunsur Hindu dan Islam dapat dikenali dari isinya, yaitu adanya penggunaan istilah-istilah Hindu dan Islam dalam hikayat tersebut. Ciri yang lain adalah bahwa lahirnya hikayat ini pada jaman yang oleh para peneliti sering disebut sebagai jaman peralihan Hindu ke Islam, yaitu sekitar abad ke-14 hingga abad ke-16 M.
Perpaduan unsur Hindu dan Islam tersebut karena unsur-unsur Hindu telah populer di kalangan masyarakat Melayu. Di satu sisi, masyarakat Melayu tidak ingin meninggalkan unsur Hindu dalam hikayat ini, namun di sisi lain mereka memasukkan unsur-unsur baru dari Islam. Masuknya pengaruh Islam bermula dari adanya tulisan yang bercorak tulisan Arab yang kemudian oleh masyarakat Melayu disebut tulisan Jawi. Dari sinilah para ahli mengkategorikan sebagai hikayat yang mengandung kedua unsur, yaitu Hindu dan Islam.
Unsur-unsur Hindu dalam penceritaan hikayat pada masa ini masih kental, seperti adanya pengembaraan, percintaan, penyelamatan kekasih, dewa-dewi, kesaktian, dan lain-lain. Model penceritaannya sebagaimana lazimnya dalam hikayat Hindu, yaitu dimulai dari pengembaraan yang menggambarkan asal-usul tokoh utama dengan segala perwatakannya, latar belakang keluarga, dan tentang sebab-sebab terjadinya pengembaraan. Kemudian dikisahkan pengembaraan tokoh utama yang mengalami kendala-kendala, misalnya gangguan, rintangan, kesusahan, dan lain-lain yang kemudian terjadi perkelahian untuk menunjukkan kesaktian atau ketangguhan baik dengan senjata ataupun tanpa senjata dalam memperebutkan kekasih atau hak-hak tokoh utama. Selanjutnya, di akhir cerita berisi tentang kejayaan tokoh utama yang hidup bersama keluarganya dan juga kisah kalahnya tokoh antagonis yang berwatak jahat dengan kehidupan yang sengsara. Penceritaan ini diakhiri dengan happy ending.
Sementara unsur-unsur Islam yang masuk dalam hikayat jenis ini masih terbatas pada penggantian nama-nama tokoh dan perwatakannya, serta pemakaian istilah-istilah yang lazim dalam Islam. Secara garis besar, unsur-unsur dari keduanya dapat dilihat di bawah ini.

(3) Hikayat berunsur Islam.
Sedangkan hikayat yang hanya berunsur Islam adalah hikayat yang berasal dari tradisi sastra Arab-Persia. Contohnya adalah Hikayat 1001 Malam, Hikayat Qamar al-Zaman dll.

Unsur Islam
Hikayat-hikayat yang berunsur Islam mendapat pengaruh dari Arab, Persia, India, Turki, Urdu, dan lain-lain. Kebanyakan hikayat-hikayat ini pada awalnya berisi dakwah kepada masyarakat atau ajakan kepada umat Islam supaya memperkuat keimanannya. Sebagai contoh karya yang berupa hikayat ini adalah Syahnameh yang dikarang oleh Firdausi pada tahun 1020. Selanjutnya pada abad ke dua belas beredar Laila dan Majnun yang diadaptasi oleh pengarang Persia yaitu Nizami dari judul dalam sastra Arab Qays wa Layla atau Majnun Layla. Ada juga Hikayat Seribu Satu Malam yang diterjemahkan dari Alf Laylah wa Laylah.
Pada saat itu, kata-kata dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya banyak digunakan dalam sastra Melayu dengan tulisan Jawi-nya. Dalam hal ini bahasa Melayu mempunyai peran dalam penyebaran agama Islam dan pengembangan kesusastraan di Nusantara. Latar penceritaan dan tema yang ditampilkan banyak berkaitan dengan ajaran Islam, peristiwa-peristiwa pada jaman Nabi Muhammad SAW, serta tokoh-tokoh Islam lainnya. Sebagai contoh adalah Hikayat Darmata’siah, Hikayat Qamar al-Zaman, Hikayat Nakhoda Muda atau Hikayat Siti Sara, Hikayat Saleh Salehah, Hikayat Nodar Syah, Hikayat Hassan Damsyik, Hikayat Nurhatiyah Puteri Masri.
Hikayat-hikayat tersebut mengandung tema didaktik atau pengajaran dan keteladanan yang menekankan ajaran moral di samping terdapat pula tema hiburan. Beberapa hikayat mengandung nilai pendidikan khusus kepada kaum wanita, seperti Hikayat Damata’siah, Hikayat Puteri Salamah, Hikayat Fatimah, dan Hikayat Nurbatiyah Puteri Masri atau Hikayat Puteri yang Budiman. Hikayat-hikayat ini bertujuan menanamkan ajaran Islam sehingga membentuk pribadi yang mulia bagi kaum wanita. Tokoh-tokoh wanita dalam hikayat ini digambarkan mengalami banyak ujian yang sangat berat selama hidupnya, namun mereka dapat mengatasinya dengan kecerdasannya sebagai seorang wanita.
Ciri dari karya-karya pada masa ini sudah tidak ada unsur Hindu sama sekali. Semua kejadian selalu dihubungkan dengan kehendak Allah atau makhluk-makhluk ciptaan Allah. Watak-watak yang disampaikan adalah watak kebanyakan manusia sebagai ciptaan Allah dan semua mempunyai hak yang sama di hadapan Allah, baik itu golongan istana maupun rakyat jelata. Contoh dan teladan, dosa dan pahala yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat akan mendapatkan balasan yang setimpal. Beberapa pengarang menuliskan bahwa dengan membaca hikayat-hikayat yang berunsur Islam maka para pembaca akan terlepas dari siksa dalam kubur dan terbebas dari dosa.
Hikayat Melayu yang mengandung unsur Islam antara lain:
1. Hikayat Seribu Satu Malam.
2. Hikayat Nurhatiyah Puteri Masri.
Berdasarkan isi, hikayat dapat digolongkan ke dalam tiga jenis yaitu:
(1) Jenis rekaan, contohnya Hikayat Malim Dewa;
(2) Jenis sejarah, contohnya Hikayat Hang Tuah, Hikayat Pattani dan Hikayat Raja-raja Pasai;
(3) Jenis biografi, contohnya Hikayat Abdullah dan Hikayat Sultan Ibrahim bin Adam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar