Jumat, 23 Oktober 2009

Cerpen: Lewi Natanya

Kenapa Harus Aku yang Seperti Ini

Oleh:

Lewi Natanya Josia Putra

XI IPA 2

“Yahh bagaimana ini? Masa seperti ini saja sudah kalah?! Ayo pasang lagi, jangan mau kalah dengan dia.”, suara melengking seorang wanita menghancurkan suasana hening di sekitarnya. Bersamaan dengan suara yang mengisi keheningan itu, gumpalan asap kecil dari mulutnya terlihat berterbangan di udara, menyatu dengan asap yang terlebih dahulu memenuhi ruangan kecil dan kusam tersebut. Tempat itu hanya berisi tiga kursi kayu yang mendampingi sebuah meja kecil yang selalu berserakan uang dan kartu dari sore hingga malam.

“Uang saya bisa habis ni kalo begini caranya. Saya pulang dulu mba, minta uang ke suami dulu nanti baru kita lanjutkan permainan ini.”, sahut seorang wanita muda menanggapi ucapan mba Imah sembari beranjak dari kursinya dan hanya meninggalkan ruang kecil itu dengan dua orang sahabatnya.

“Ya sudah kalo gitu. Ambil yang banyak ya, kan kamu bakal kalah lagi.”, canda mba Imah sambil mengelus-ngelus perutnya. Hampir genap sembilan bulan yang lalu ia menyadari keberadaan anaknya yang kedua ini. Wanita bunting inipun mulai mengumpulkan kartu-kartu yang berserakan di atas meja dan memberikan kepada temannya itu, tak lupa ia kembali menghisap putung rokoknya yang tinggal setengah saja. “Tolong kamu siapkan dulu ya, aku mao cari angina dulu di luar. Nafasku sudah mulai susah.”

Mba Imah berjalan ke luar ruangan dan secepat mungkin berusaha untuk mencapai pintu rumahnya yang memang sudah terbuka. Matanya pun dengan gesit memandang ke langit dan menyaksikan sang mentari yang sepertinya ingin beristirahat di balik pergununungan. Seketika bulu kuduknya berdiri karena angin sepoi-sepoi menyambut kedatangannya di depan pintu. Suasana sore itu terlihat sangat bersahabat. Mba Imah pun tak inging kembali kepada temannya yang sedang menunggunya. Ia mengambil kursi dah duduk di teras rumah putihnya yang sudah hampir rapuh. Hati kecilnya mulai berangan,”Ah andaikan sekarang suami ku bisa sama-sama menikmati indahnya sore ini bersamaku, pasti sangatlah senang dirinya.” Setetes air mata tercucur dari mata kirinya penuh haru karena mengingat suami yang tak lama meninggalkannya.

Seolah-olah aku sebagai anak mengerti perasaan ibuku, aku sudah tidak mau lebih lama berada di perut ibuku. Aku ingin keluar untuk menghibur ibuku yang tak kuasa menahan aliran air matanya yang telah membendung.

Mba Imah berteriak,”Aduu sakit sekali rasanya. Tolong! Tolong! Anakku sudah minta keluar.” Pamanku yang sedang nongkrong di warung seberang melihatnya kesakitan minta tolong. Paman berlari dengan sangat cepat.

“Ayo ade aku gendong saja ke rumah sakit.”, tanpa menunggu jawaban dari ibuku, aku dan ibu lekas di bawa lari ke rumah sakit. Entah napa aku sepertinya tidak sabar ingin melihat ibuku. Walaupun aku tahu itu membuatnya menjadi kesakitan sekali.

Matahari pun sudah berganti dengan bulan. Memang hanya beberapa jam saja sejak aku melonjak. Tapi seakan-akan waktu berjalan sangatlah lama. Namun demikian kepalaku merasakan alam yang berbeda yang mulai kumasuki. Tidak lama rasa itu sudah sampai ke kakiku dan akupun menjerit sekeras-kerasnya.

Akhirnya aku di selimuti dengan kain yang menghangatkan tubuhku. “Selamat Bu, anaknya laki-laki.”, dari tangan seorang wanita aku di berikan kepada tangan seorang wanita lainnya yang terbaring lemas. Aku tidak tahu menau siapa wanita jelita yang akan segera menerimaku untuk dipeluknya, tetapi batinku mengatakan itu ibuku dan aku sudah sampai kepada pelukan ibuku. Pelukan yang berbeda dari apapun. Aku bisa merasakan kehangatan yang berbeda dari selimut biru muda ini dan kasih sayang yang sungguh mendalam terlihat dari senyum indah di wajahnya. Inilah yang aku mau selama ini. Aku ingin ibu tersenyum ketika melihatku di dekapan tangannya. Senangnya melihat ibu yang tersenyum lega sekarang.

Aku kemudian terlelap di pelukan ibuku, dan entah berapa lama ku habiskan waktuku untuk memejamkan mata, tetapi saat aku bangun aku sudah berada di sebuah rumah kecil yang sangat sederhana. Rumah yang hanya ditiduri oleh dua orang sejak kehadiranku ini, dan di sinilah aku mulai bertambah dewasa. Badanku tambah tinggi seiring dengan bertambahnya berat badanku. Aku senang bemain dengan teman-teman. “Awas nil nanti kamu jatuh.”, seru ibuku tiap aku sedang berlari di depan rumah. Ya. Aku di panggil oleh ibu dengan nama yang sangat unik yaitu Danil, dialah juga yang selalu membacakan dongeng saat kita berdua ingin tidur.

Waktu terus berjalan dan tidak terasa aku sudah tinggal di rumah ini hampir dua belas tahun. Semakin hari ku lalui, semakin tidak lazim perlakuan teman-teman kepadaku. “eh aneh!”, teriak mereka setiap memanggil ku. Sekarang setiap kali aku terpaksa mengurungkan niatku untuk berkumpul dan berbincang-bincang dengan temanku. Aku tahu mereka akan menjauhi ketika aku menyusul mereka, dan itu sudah biasa menjadi tontonan sehari-hari. Aku tidak mengerti mengapa aku diperlakukan seperti bukan bagian dari mereka. Padahal sejakku masi batita, merekalah yang selalu bercanda-tawa denganku. Yang aku tahu hanyalah semuanya kelihatan seperti yang biasa ku jalani. ‘Hidup ini sungguh indah rasanya, penuh kecerian dan kasih sayang yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata’ kutipan ini yang menjadikan ku dulu sangat senang. “ tapi apakah itu sudah mulai terhilang dalam benakku?”, lamunku di sore hari. Memang aku merasakan aku bukan seperti aku yang dulu lagi, bukan Danil yang tertawa setiap harinya, dan bukan anak lelaki yang bisa bergaul dengan mudahnya lagi. Aku sudah berubah sekarang, tetapi aku tidak menyadari itu. Lebih daripada itu aku tidak tahu sekarang ibu juga turut memperlakukan ku dengan tidak wajar sama sekali. Tapi aku tak punya hak untuk melawan dan hanya untuk menuntut kasih sayang pun aku tak berani.

“Tok tok tok.”, suara pintu kayu rumah itu mengaggetkan ibuku yang sedang memasak. “Misi mba. Mba, bagaimana kabar Danil? Anak ini sebenernya tak bermasalah ya? Kok saya perhatikan kelakuannya aneh sekali belakangan ini”, bisik Pamanku di suatu pagi yang cerah sembari ibu sibuk merapikan meja dari kartu yang berserakan dan putung-putung rokok di bawah meja,” sepertinya dia ituu…kelainan mental. Bisa saja agak cacat mental.” Perbincangan itu mereka lakukan sangat serius dan tampaknya mereka tidak mengetahui bahwa aku telah tersadar dari tidur ku yang nyenyak di pagi itu. Kupanjangkan tanganku ke atas sembari mulutku menganga karena menguap. Segera ku bangun dari tempat ku berbaring dan ingin berjalan ke luar. Namun suara laki-laki yang sepertinya sangat sudah sangat ku kenal terdengar dari ruang tamu.

“Iya memang dia itu agak susah untuk di ajar, hanya semaunya saja. Sepertinya dia memang cacat tapi aku ini ga pernah berani mengatakan kepada siapapun.”, lanjut ibuku menjawab pertanyaan paman.

Pikiran inipun langsung berkerja mencerna pembicaraan mereka berdua. Aku tak tahu apa itu sebenarnya cacat mental. Ku rebahkan tubuhku di atas ranjang ku lagi, dan mulai merenung. Kepalaku seakan-akan mulai memanas untuk memikirkan hal yang ku anggap penting bagiku namun yang tetap ku tidak pernah mengerti. Sudah cukup besar untukku mengetahui apa yang menimpaku sekarang. Jawaban yang ku perlu sekarang dan aku sepertinya benar-benar berada di suatu titik di mana aku ini tidak menemukan jalan lain. Tiba-tiba nyeri yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya datang ke kepala ini. Kini sungguh aku tak mampu menahannya lagi dan dengan semampuku aku memanggil ibu. “Ibu kepala ku sakit sekali ini.” Sejauh ini kepalaku sering terasa sakit, namun sepertinya kecerian dan kasih sayang yang ku terima seolah-olah bisa membalut setiap luka di dalam tubuh ini. Cinta ibu sudah mulai berubah lagi, mungkin itulah sebabnya aku ga bisa lagi menahan nyeri ini.

“Anakku ada apa?!”, teriak ibu dengan bergegas menghampiriku. Ketika di lihatnya aku sudah tak sadar. Langsung saja aku ini di bawa lari ke Rumah Sakit tempatku dilahirkan. Setibanya di sana, kasur yang menopang tubuhku pun lekas menuju ke ruang ICU. Berjam-jam aku tidak bisa sadar dari alam bawah sadarku hingga akhirnya dokter angkat suara kepada ibu dan paman.

“Gangguan saraf dok?”, nada suara yang menunjukan perasaannya yang sangat terkejut keluar dari mulut ibu karena mendengar apa yang sebenarnya di alami.

“Iya ada virus berbahaya sudah merusak saraf anak ibu sehingga merusak mentalnya. Apakah si anak tidak pernah mengeluh akan kondisinya?”, tanya dokter penuh penasaran. Tanpa menghiraukan apapun, paman segera membawa ibu untuk duduk kembali sampai aku mulai sadar. Hampir genap dua hari aku belum membuka mataku untuk bangun kembali, tapi batinku bisa merasakan ibu mendampingiku dengan lemas di sebelah ranjang tempat anaknya berbaring. Ketika ku tersadar, aku menyadari bahwa aku hanya sendirian di kamar ini. Tiba-tiba suster datang masuk ke dalam kamar ku dan menanyakan keadaanku bagaimana. Dengan muka panik dan penuh penasaran segera aku bertanya kepada suster ”Sus di mana ibuku?”

“Dia sudah pergi dari Rumah Sakit ini dari tadi siang de.”. sahut suster berusaha menenangkan perasaanku ini.

Akupun langsung loncat dari kasur dan berjalan menuju pintu. “Mana ibu? Aku mau ketemu dia sekarang!”, aku mulai melangkah sedikit cepat. Namun suster itu menahanku untuk berjalan keluar dari ruangan meskipun aku tak peduli apa yang seharusnya ku lakukan. Aku hanya ingin bertemu ibu.

Braakkk!! Suara pintu yang terbanting membuat suasana sepi menjadi pecah dan semua orang di lorong itu menoleh ke arah ku. Aku tidak tahu kenapa mereka harus menoleh ke arahku dan matanya mengikuti kemana aku pergi. Abaikan apa yang ada dan dengan langkah terburu-buru aku segera mencari meja receptionist.

“Ibu kamu sudah pulang. Ia hanya menyediakan biaya penginapanmu untuk tiga hari saja.” Mulutku sedikit terbuka tetapi tidak satu katapun keluar dari mulut kecil ini. Ku tak peduli apa katanya, aku mencari pintu keluar untuk menemui ibu.

Sebelum aku menlangkahkan kakiku keluar Rumah Sakit, ada seorang pria muda yang berteriak, ”Tahan dulu anak itu. Tolong pa satpam jangan biarkan dia keluar.” Ketika ku menoleh ke arah suara itu berasal, tiba-tiba pinggang ku di genggam oleh sepasang tangan yang sangat kuat. Aku berusaha semampuku untuk melepaskan diri dari cengkraman petugas. Ketika ku menoleh ke atas, ternyata pria yang tadi berteriak mengampiriku.

“Tadi saya lihat ibumu sudah pulang.”, lelaki itu berkata penuh kesabaran.

“Aku mao bertemu dia sekarang.”, pinta ku memaksanya dengan mencurahkan air mata. Lelaki itu membawaku untuk duduk sejenak di ruang tunggu dan ia mulai berbincang-bincang denganku. Hatiku sudah terasa lebih tenang sekarang walaupun tetap hanya bersama ibulah yang bisa membuatku tenang.

“Sudah saya harap kamu mengerti ya Danil”, hibur pria yang sudah ku anggap sangat baik padaku. “Sekarang kamu ikut saya pulang saja untuk bisa tinggal di rumah saya untuk sementara waktu sampai ibu menemuimu lagi.”

Dengan pikiran hampa yang juga sangat campur aduk, aku mengikuti pria itu pulang ke rumahnya untuk tinggal bersamanya. Memang dari tampangnya sudah menunjukan bahwa ia adalah lelaki yang cukup mampu, di tambah lagi dengan kendaraan yang dikendarainya sangat berkelas. Aku duduk di sebelah pria yang sedang mengemudi. Di belakangku ada seorang wanita muda duduk dengan mengusrusi dua bayi mungil. Aku bisa merasakan ada kasih sayang yang baru yang bisa aku terima dari keluarga ini. Sungguh inilah yang ku cari-cari setelah sekian lama aku secara perlahan kehilangan kasih sayang ibu yang penuh cinta.

Ternyata keluarga ini membuat ku tak dapat memilih kata-kata yang tepat untuk mengagguminnya. Setelah ku dengar cerita dari om Michael, aku baru menyadari bahwa wanita yang duduk di belakangku ini adalah seorang yang buta. Bahkan ia juga baru saja melahirkan anak yang buta pula. Pikirku itu adalah hal yang wajar saja, “tetapi bagaimana dengan anak yang satu nya lagi?”, akupun mulai bertanya-tanya dalam diriku. Karena aku belum mau bertanya apa-apa terlebih dahulu. Baru saja aku berniat menyimpan pertanyaan itu dalam hati, om Michael justru menjawabnya, “Yang satu aku memungut anak lagi tetapi ia buta. Sehingga karena di tingggal oleh orang tuanya dan tidak ada yang mau menanganinnya.

Sepertinya baru saja ku menikmati rasa nyaman di dalam mobil mewah itu, kita sudah tiba di suatu rumah. Rumah indah yang penuh lampu di malan hari. ku tinggal di situ dengan penuh rasa tentram yang luar biasa berbeda rasanya.

Kini ku hanya mendapatkan kasih sayang dari tempat tinggal ini. Hanya berlima, termasuk aku sudah bisa membuatku aman tentram. Inilah tempatku yang sebenarnya di mana aku dapat di terima dan merekapun tidak berbeda denganku. Tawa penuh bahagia yang sudah lama tidak keluar dari mulutku ini, akhirnya bisa terdengar dari sini.

Aku bertambah besar dan beranjak dewasa, dan yang menjadi masa kelamku sudah tidak pernah lagi terlintas di benakku. Segala yang ku harapkan, yang ku inginkan dan mungkin yang telah terhilang dari ku, sudah ku raih. Namun hanya satu hal yang mengganjal di diri ini. Rasa kesepian yang mendalam bisa secara tiba-tiba menyusup ke dalam perasaanku, raut wajahku ketika itu bisa berubah drastis keadaannya. Aku kadang kala menangis di malam hari. seolah benak ini sudah penuh rasanya dengan ribuan pertanyaan yang muncul. “Aku tak pernah tahu kalau aku punya ayah, dan kenapa kini ibu harus meninggalkanku juga?”, sedih rasanya setiap kali pemikiran itu terlintas di kepalaku. Aku seakan-akan hanya anak lelaki kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun perasaan ini terus bermain.

Bertahun-tahun hidupku penuh kebingungan dan kerinduan akan orangtua yang sangat mendalam. Menemui ibu dengan segera adalah impianku, karena om Michael selalu menjanjikan hal itu akan terjadi. Meskipun aku tak sepenuhnya yakin bahwa aku bisa bertemu dengan ibu tercinta. Hingga pada satu siang ketikaku sedang bersenda-gurau dengan anak-anak om Michael, pintu rumah diketok oleh seseorang. Lekas saja tanpa berpikir panjang ku bukakan pintunya, dan hal aneh sudah kurasa. Batin ku tahu bahwa ini adalah orang penting dalam hidupku. “Misi de, ibunya ada?”, tercengang aku melihatnya. Ku perhatikan lekuk wajahnya yang sepertinya sudah ku kenal sekali.

“Ibu?”, tanya ku penuh penasaran.

“Ya ibu kamu ada di rumah?”, tanyanya meyakinkanku.

“Bukan, maksudku wanita yang di depanku ini adalah ibuku?”, seketika itu juga aku sangat terkejut, demikian juga ibu yang sudah lama tak ku jumpai. Ya perasaan senang bercampur bingung yang memenuhi tubuhku. Segera ku berbincang-bincang dengannya sambil memanggilkan om Michael. Merekapun ku tinggal berdua untuk berbicara dengan bebasnya.

Stetelah selesai,”Ibu akan tinggal di sini sekarang bersama-sama dengan kita.”, kata om Michael berkata kepadaku. Ibupun menganggukan kepalanya pertanda ia sudah setuju.

“Kenapa bisa begini?”, aku bertanya dengan penuh semangat dan senyum yang lebar. Ibu kemudian menceritakan semuanya dari awal ia meninggalkan aku dan sebagainya. “Aku sebenarnya sudah menderita sakit terus menerus bu, tapi rasa pusing itu selalu ku tahan demi ibu tidak memikirkannya. Dan aku ga mau merepotkan ibu, sehingga mungkin saja perhatian ibu kepadaku malah semakin berkurang.” Sebenarnya ibu kaget mendengar pernyataanku itu. Ia tidak menyangka bahwa anaknya begitu rela kesakitan hanya demi agar kebahagiaan mereka bisa terus berjalan.

“Maafkan ibu Nil kalo sampai ibu harus meninggalkanmu, padahal pengorbananmu buat ibu melebihi pengorbanan ibu buat kamu.” Mungkin itu lah sebanya mengapa ibu memutuskan untuk tinggal bersama-sama dengan ku. Di sinilah dan sekarang lah sudah ku temukan seseorang yang bisa menjawab semua pertanyaanku, mengisi semua kekosongan di hati ku, dan menghibur setiap kesipian di diriku.

Akhirnya c anak ngakuin kalo dy tu udh nahan sakit bertahun-tahun demi ibunya ga pikiran n ambil pusing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar